Pagi itu aktivitas gue seperti biasa. Bangun tidur, mandi, sarapan, dan berangkat sekolah bareng kakak gue—Satria. Bahkan gue masih ingat ketika merengut karena nyokab kasih uang saku lebih banyak ke Satria daripada gue, dengan alasan Satria ada pelajaran tambahan. Gue ingat ketika bokab menengahi adegan bertengkar gue sama nyokab dengan nambahin uang saku gue sebelum berangkat ke sekolah bareng kakak gue.
Gue ingat semua. Ingat ketika tubuh gue melayang, kemudian rasa sakit, dan setelah itu yang gue lihat Satria dengan wajah sedihnya meluk gue. Nyaman dan setelah itu gue nggak ingat apa-apa.
Rasanya gue tertidur nyaman dalam pelukan Satria.
Satria Sayang Gue, Gue Sayang Satria
Gue nggak tahu berapa jam gue tidur sampai-sampai mereka melototin gue. Gue ngga tahu harus masang ekspresi apa ketika nyokab gue mendadak meluk tubuh gue yang mendadak juga merasa sakit. Gue masang tampang bloon ketika Satria sama bokab gue masang wajah bangga ke arah gue. Heran tentu saja. Emangnya gue baru menang lomba apa sih sampai mereka begitu bangga sama gue.
“Syukurlah, kamu sadar juga, Elin.” Bokab gue ngelus-ngelus rambut gue. Gue pengen bangun dari tidur, tapi nggak bisa ketika merasakan sakit kepala sama tubuh gue. Gue kenapa???
.
.
Akhirnya gue tahu semua jawabannya ketika orang tua gue pulang ke rumah, dan Satria jadi sasaran pertanyaan gue ini kenapa. Gue, yang mendapati diri bangun di salah satu ranjang rumah sakit. Padahal gue yakin gue nggak kenapa-kenapa, karena sebelum gue tidur, Satria ada di samping gue sehingga entah kenapa gue nggak merasa takut.
“Gilaaaa.... gue hebat juga bisa tidur 3 hari berturut-turut,” seru gue sambil menyomot jeruk yang dikupasin Satria. Gue kelaparan dan ogah makan dari jatah rumah sakit. Gue pengen masakan nyokab, mangkanya orang tua gue belain ninggalin gue di rumah sakit bareng Satria.
Satria mendengus di samping gue tanpa ngalihin fokusnya ngupasin jeruk buat gue. “Lo buat gue takut setengah mati, bodoh.” Satria kembali angkat suara. Membuat gue nggak enak sendiri dengan keadaan ini.
Gue merasa bersalah meskipun enggan mengakui, apalagi melihat muka nggak enak Satria yan berusaha ia tutupi. Mungkin Satria merasa bersalah dengan kecelakaan yang menimpa kami. Dia selamat meskipun dengan luka yang lumayan sakit, dan gue yang hampir-hampir kehilangan nyawa yang secara nggak langsung karena Satria. Bukan karena Satria, tapi karena bus yang menerobos lampu merah sehingga membuat Satria membanting stir berusaha menyelamatkan kami. Gue sadar semua itu, mangkanya gue berusaha menampilkan muka ceria gue agar Satria nggak merasa bersalah lagi.
“Bokab marahin lo, Sat?” Gue kembali memecah keheningan yang membosankan ini.
Sekelebat ingatan jaman kecil gue dimana bokab marahin Satria karena lebih milih main bola sama teman-temannya daripada nganterin gue pulang ke rumah. Alhasil, gue yang saat itu masih bocah nggak tahu jalan pulang, dan berakhir nyasar entah kemana. Gue juga ingat ketika gue menangis ketakutan, Satria datang cari gue, dia meluk gue erat sama seperti yang gue alami saat itu. Gue baru sadar Satria selalu ada buat gue. Entah jika nggak ada Satria gue gimana jadinya.
Gue tahu, Satria sayang gue, gue juga sayang sama Satria.
“Enggak... bokap nggak marahin gue,” Satria nyuapin jeruk ke mulut gue, “tapi gue merasa bersalah karena buat lo jadi gini.”
Nah, kan... gue jadi merasa nggak enak gini.
“Ah, itu bukan salah lo kok, sopir busnya aja yang nggak tahu lalu lintas. Dan karena kecelakaan gue jadi bebas dari ujian remedial.” Gue nyengir lebar, “Sial deh, padahal nilai gue udah sama KBM tapi tetep aja gue disuruh remedial. Emang deh, Pak Rudi selalu bikin masalah sama gue,” cerocos gue.
Satria cuma bisa geleng-geleng lihat tingkah gue. Tapi gue seneng, dengan tingkah konyol gue, Satria nggak mengungkit rasa bersalahnya lagi. Tapi....
“Sat, jam tangan yang gue pake waktu itu mana?” tanya gue ingat jam yang baru gue beli dengan berbekal sisihan uang saku gue selama seminggu.
Satria natap gue lama. Mungkin berpikir jam tangan mana yang gue maksud.
“Itu, yang jam tangan putih seratus ribuan,” pancing gue.
“Oh yang itu...”
“Iye... mana?” Gue acungin tangan gue. Berharap cepet-cepet mendekap jam tangan yang lagi gue gandrungi itu.
“Gue buang ke tempat sampah. Hancur karena kecelakaan kemarin,” jawab Satria.
Gue shock.
Mewek.
Nangis.
Pengen nonjok Satria.
“Huweeee...... pokoknya harus diganti, nggak mau tahu harus diganti sama seperti ituuuuuu!!!!”
Gue teriak-teriak di depan muka Satria sampai-sampai orang luar nengok ke kamar inap gue. Tapi gue nggak peduli, pokoknya harus diganti. Gue nggak ikhlas jam tangan hasil kesabaran gue selama dua minggu hancur dalam sekali pakai. Satu minggu buat ngumpulin duitnya. Dan seminggu nunggu jam gue datang karena gue belinya di olshop.
Gueeeee nggaaaaaaak ikhlaaaaaaassssss..............
Gue ralat. Satria nggak sayang gue, dan gue nggak sayang sama Satria.