Jumat, 19 Oktober 2012

Pacaran? (cerpen series 1)


Pacaran?

Malam ini gue kesepian. Beselimut kegalauan nggak berpengujung tentang masa depan. Ini kisah gue tentang cinta yang nggak kunjung menghampiri hati gue. Sepi. Mungkin.

Berulang kali gue yakini kalau gue nggak perlu menjalin romansa dalam ikatan pacaran dengan seorang cowok. Cukup pernah sekali saja tersakiti, gue nggak mau mencoba main-main tentang hati.

Ini tentang kisah gue--Eliana Hendrawan--yang mengenyam indahnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Seorang senpai kala masih duduk di jenjang Sekolah Dasar. Cowok pertama kali yang sampai bikin gue memendam cinta sampai bertahun-tahun. Dari bocah ingusan sampai menjelma menjadi sosok gadis yang cantik dan imut. Hahahahaha

Cinta pertama yang indah tentu saja. Meskipun jengkel tapi hati gue seneng banget ketika dia ngejaili gue. Simpel, namun bikin cinta gue ke dia semakin menyebalkan. Dan maaf yang kena tag XD

Sejak kelas 3 SD sampai akhir masa SMP cinta gue aman terpendam jauh di lubuk hati terdalam. Namun sial, tepat kelulusan gue dari SMP bibir ini nggak sengaja menyebut namanya.

Irwan.

Sohib kakak gue Satria waktu sekolah Dasar.

Waktu itu Satria nggak berkomentar apa pun. Dia hanya tersenyum sambil ninggalin gue sendiri.

Lega. Cinta yang semula tersimpan rapat itu akhirnya terbuka. Gue merasa kosong. Beban yang semakin memberat itu terangkat seketika.

Namun, sebuah cerita cinta memang nggak seindah cerita dongeng.

Irwan. Senpai yang gue cinta ternyata bukan sosok yang pantas buat gue.

Hampir 6 tahun memendam cinta padanya, rasanya memang berwarna-warni seperti permen gula-gula.

Dan terakhir cinta gue harus rela gue lepas seluruhnya. Tanpa terkecuali.

Nggak ada rasa deg-degan yang selalu nemenin gue pas nggak sengaja berpapasan sama dia. Nggak ada lagi roman salah tingkah ketika kakak sepupu gue nggak sengaja ngajak ketemuan sama dia.

Sekarang semuanya lepas nggak tersisa. Nggak ada tangis penyesalan.

Sosok yang selalu gue anggap sempurna itu tercoreng seketika.

Meskipun gue sakit hati karenanya, tapi gue akan rela hati mundur untuk kakak sepupu gue yang terpaksa menikah dengan dia. Hamil.

Gue nggak nangis kok.

Eliana, gadis yang tabah.

Bagi gue, itu adalah suatu tanda kalau dia memang bukan orang yang terbaik yang Tuhan persiapkan untuk gue.

Gue rela.

.

"Lo ngelamun?"

Gue tersentak kaget ketika toyoran bantal mampir di wajah cantik gue.

Menyebalkan. Gue melotot nggak terima acara mengenang gue terhambat.

Sosok itu acuh meskipun udah gue tampilin muka angker andalan gue.

Nggak mempan. Gue tahu itu.

"Kenapa sih lo selalu gangguin malam tenang gue, Sat?" Lagi-lagi gue mendelik plus cemberut bersamaan. Itung-itung olah raga wajah.

"..."

Merasa dicueki gue beringsut ke sudut sisi sofa yang gue duduki. Sedikit merenungi betapa kesepian itu rasanya menyiksa juga.

"Sat, malam minggu nggak ngapelin pacar lo, ni?" Merasa sepi gue angkat suara.

Kakak gue angkat bahu. Terlalu asik menikmati acara ngegame-nya yang nggak kunjung selesai.

"Gue jomblo."

Nggik.

Gue ketawa ngakak pada akhirnya. Helooo.... Gue tahu lo bohong kakak gue sayang. Terus siapa yang setiap hari smsin sayang-sayang di hape lo.

"Sesama jomblo harus saling menghormati."

Sial.

Reflek gue hantam dia pake guling yang sedari tadi di dekat gue. Dan sekarang gue puas. Haha

Satria balik melotot ke arah gue. Kesal mungkin gara-gara game yang sejak magrib tadi ia selesaikan kini 'game over'.

Gue ketawa. Dan menyebalkannya dia malah ngampiri gue dengan tampang setengah kesal sampil ngegelitik perut gue.

Kuso. Tawa gue terdengar semakin menyedihkan.

"Mamaaaaaaaaa...." teriak gue pada akhirnya.

.

Jam menunjukkan pukul setengah delapan malam ketika kedua orang tua gue pamit ke rumah kakek nenek. Sebenarnya awalnya mereka ngajakin gue, tapi nggak tahu kenapa gue tolak ketika tahu Satria nggak ikut ke sana. Entah kenapa gue lebih suka habisin malam minggu sepi ini nemenin kakak gue tersayang ini.

"Sat, pacar lo siapa sih?"

Lagi-lagi gue membuka pembicaraan. Bosan juga hanya ditemani suara televisi.

"Kaga ada."

"Aih, jangan bohong deh. Masa sama adik sendiri pelit amat," cibir gue.

Tanpa ngalihin titik fokus dari televisi Satria ngacak rambut gue gemas, "Gue nggak suka pacaran, Elin," jawabnya.

"Kenapa?" Gue masang tampan blo'on ke arah dia.

"Nggak papa. Gue nggak suka aja."

"Nggak suka 'kan juga ada alasannya, kakakku tersayang."

Aish, pelit cerita.

"Lo 'kan banyak yang naksir, Sat, beda sama gue." Entah kenapa gue buka kartu pada akhirnya.

Gue denger Satria mendesah napas dalam sebelum natap ke arah gue.

"Lo, pengen pacaran?"

Gue diam. Bingung harus jawab apa.

"Nggak tahu," jawab gue akhirnya.

Lagi. Satria ngacak rambut gue.

"Lo, tahu nggak alasan gue kenapa nggak mau macarin salah satu cewek yang naksir gue?"

Geleng-geleng kepala sebagai jawaban gue.

Satria tersenyum ke arah gue, "Gue nggak mau ngambil sesuatu yang bukan hak gue. Dan lagi gue nggak mau merasa bersalah ketika nanti gue nikah, gue nggak bisa nyerahin semua yang gue miliki secara utuh pada istri gue nanti."

Gue masang tampang blo'on pada akhirnya.

"Ketika kita pacaran, kita nggak bisa terus-terusan untuk nggak berbuat hal yang nggak diperbolehkan agama. Meskipun idealis untuk tetap menjaga pasangan kita agar tetap utuh sebelum pernikahan itu tiba telah kita koarkan, tapi seiring waktu dan kebersamaan yang semakin lengket pasti idealis itu akan tergoyah."

"..."

"Apalagi gue ini cowok. Pengen mencoba hal-hal baru."

"Tapi 'kan meskipun pacar kita sekarang bukan suami kita nanti, toh nggak bakal ada yang tahu apa yang telah kita lakukan sama pacar kita sebelumnya," sangkal gue.

"Tuhan selalu tahu, Elin. Dan pasti lo akan merasa bersalah meskipun hanya sebersit nggak bisa menjaga diri untuk suami lo nanti."

Gue angguk-angguk kepala mengerti. "Kata guru agama gue 'wanita yang baik akan mendapatkan laki-laki yang baik, begitupun sebaliknya."

"Adik gue pinter."

"Emang. Hahaha...."

.

"Mangkanya sebelum hal buruk terjadi sama lo, lo harus bisa jaga diri baik-baik supaya nggak merasa bersalah nanti ketika nikah sama gue."

Nikah?

Sama Satria.

Satria Hendrawan, kakak gue.

Ngeblang.

Melotot.

"Lo..." Gue nunjuk was-was ke arah dia, "... dan gue?" Beralih gue nunjuk ke arah sendiri.

Satria mengangguk dengan senyum miringnya.

"Lo dan gue nikah? Nanti?" gagap gue.

Dia mengangguk.

"Mamaaaaaaaaaa.......... Satria incest!!!!!" seru gue shock.

"Mama nggak ada di rumah, sayang."

Gue gelagapan. Merinding.

"Papaaaaaaaa............. Satria gilaaaaaaaaa......... Tolooooooooooooonggggg........"

"Lo nggak ingat papa mama sekarang nggak ada di rumah."

Gue membatu. Membeku dalam sebuah kulkas bersuhu minus.

Dan Satria menyeringai ke arah gue.

Diem. Membeku. Dan pingsan.

Tamat

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar