Couple?
No!
Hari Senin. Entah
kenapa gue selalu bermasalah sama satu hari di dalam seminggu yang sering gue
jumpai. Cerita aslinya simple, tapi emang dasarnya gue aja yang bikin masalah.
Terutama masalah sama ibu gue yang mendadak jadi sok ngatur. Sudah gue blok kata yang bikin gue mendadak terbang
terus jatuh di selokan depan rumah gue. Ngenes. Dan semua itu ujung-ujungnya
nggak ada yang mau ngalah demi gue. Eliana Hendrawan. Satu-satu cewek paling
cute di keluarga Hendrawan terpaksa merelakan kewarasannya untuk ibunda
tercinta. Memalukaaaaaan!
Cerita ini gue awali
pada tanggal 20 Mei 2013 dimana tepat jatuh pada hari Senin. Hari Kebangkitan
Nasional. Simbol kebangkitan bangsa Indonesia yang berbalik membuat gue
terhempas kejurang kegalauan nggak berdasar. Asli ngeneeeessss.....
Pada hari itu gue
sebagai anak SMA yang berbudi baik tentunya harus mematuhi segala peraturan dan
perintah dari sekolah, termasuk memakai baju batik untuk memperingati hari
Kebangkitan. Di sinilah awal ketidak selarasan pikiran gue dengan nyokab gue
yang mendadak sok ngatur. Sarimbitan.
You know? Gue harus
memakai baju batik yang sama dengan yang dipakai kakak gue Satria. Ini
memalukan. Sangat memalukan. Gue ini mau sekolah bukan menghadiri acara
keluarga. Serasa gue badut yang terdampar di tengah-tengah lautan manusia, yang
siap menertawakan lo. Ini gila.
“Kenapa dari tadi
diem?” Gue buang muka sehabis lihat Satria ngelirik tingkah polah gue di spion
motor yang kita naiki. Seharusnya dia tahu kalau gue ini bete bake BGT.
“Bukannya cewek suka
make baju couple, ya?” Lagi-lagi Satria ambil suara meskipun tahu gue cuekin.
Nggak sampai hati mengingat adegan reka ulang dimana nyokab maksa gue make baju
sama dengan Satria. Kata beliau sih lucu lihat anaknya pake baju sama, tapi bagi
gue ini memalukan. Apalagi untuk sekolah. Kalau bokab gue nggak ngelirik tajam
gue yang ngedumel terus-terusan, gue pasti nggak semudah itu takluk.
“Iya, kalau couple-an
sama pacar, nah, ini sama lo beda,” kata gue sinis. Rasanya gue emang kejam
pada saudara sendiri. Ya Tuhan maafkanlah hambamu yang kebanyakan hormon ini.
“Heiiii.....” Gue
menjerit nggak terima ketika Satria mendadak berhenti. “Kalau”
“Lampu merah,” kata
Satria saat tahu gue pengen marah nggak terima. Jelas saja kalau kepala gue
yang untungnya memakai helm berlebel SNI terantuk belakang kepalanya yang juga
memakai helm. Berwarna sama juga. Putih.
Ngeneeesss...... nyokab gue memang nggak ketulungan buat beliin barang yang
sama. Katanya biar nggak rebutan. Padahal asli gue nggak pernah rebutan, yang
ada Satria yang ngalah sama gue. Seperinya gue lagi-lagi merasa kejam.
Merasa nggak ada lagi
yang gue masalahin, sebelum lampu merah berganti warna gue mundur ke belakang,
merasa duduk gue semakin melorot ke Satria. Akhir-akhir ini entah kenapa gue
merasa absurd sama kalimat Satria yang kemarin gue anggap cuma bahan
bercandaan. Tapi berkat anime Shoujo yang
sering gue tonton, gue merasa aneh, nggak nyaman. Seharusnya gue nggak mikir
sejauh itu, tapi... banyak sesuatu-sesuatu yang ngeganjel di hati gue.
Dan satu lagi.
Seharusnya tadi, gue berangkat sekolah bareng sohib gue si Huda, bukan Satria.
Ketika lo baru nyadar saat lampu merah lo mendadak jadi bahan lihatan
orang-orang yang berhenti. Bagaikan lo alien yang terdampar di dunia, yang
tengah di pungut pangeran Tampan semacam Satria. Oh no, Elianaa bilang Satria
tampan. Dunia sudah gila. Maksudnya dunia gue—Eliana Hendrawan memang gila.
Nggak ada yang beres. Please, Tolongin gue!