Senin, 10 Februari 2014

Asas-Asas Kurikulum


ASAS-ASAS KURIKULUM

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Kurikulum merupakan suatu rancangan pendidikan yang memiliki kedudukan cukup penting dalam seluruh kegiatan pendidikan, juga menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Penyususnan kurikulum tidak dapat dikerjakan secara sembarangan, mengingat pentingnya peran kurikulum di dalam pendidikan perkembangan kehidupan manusia secara umum.
Dalam pengembangan kurikulum, ada beberapa landasan utama, yaitu asas psikologi anak Indonesia sendiri, asas sosiologi atau keadaan bangsa Indonesia sendiri, asas perkembangan IPTEKS di dunia, dan asas filsafat bangsa Indonesia sendiri, yaitu filsafat pancasila.
Perkembangan psikologis anak Indonesia belum secara penuh diteliti oleh bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan banyaknya suku bangsa di Indonesia yang memiliki berbagai ciri khas. Pada dasarnya psikologis anak inilah yang nantinya dijadikan dasar-dasar pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan oleh kurikulum yang berlaku.
Kurikulum hendaknya memperhatikan keadaan lingkungan fisik maupun lungkungan non fisik. Agar kurikulum berdasar keadaan sekitar lahirlah kurikulum muatan local yang dasarnya pada keadaan lingkungaan setampat.
Perkembangan IPTEKS di Indonesia disadari bahwa masih tertinggal jika dibandingan dengan negara-negara maju lainnya. Oleh karena itu, bahan-bahan berupa IPTEKS yang dicantumkan dalam kurikulum di Indonesia masih dikejar.
Hingga kini filsafat pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia masih merupakan bahan yang ideal. Namun terkadang sebagian besar di sekolah-sekolah pendidikan pancasila masih bersifat pengajaran kognitif. Jadi, Pendidikan pancasila di Indonesia diharapkan dapat membentuk watak kepribadian bangsa Indonesia.
Demikian gambaran ke-empat dasar kurikulum tersebut yang harus dijadikan landasan untuk pengembangan selanjutnya.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apakah asas Filosofis itu?
2.    Apakah asas Psikologis itu?
3.    Apakah asas Soaial-Budaya, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi itu?
4.    Apakah asas Organisatoris itu?

C.     Tujuan Masalah
1.    Untuk mendiskripsikan tentang asas Filosofis.
2.    Untuk mendiskripsikan tentang asas Psikologis.
3.    Untuk mendiskripsikan tentang asas Sosial-Budaya, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
4.    Untuk mendiskripsikan tentang asas Organisatoris.
































BAB II
PEMBAHASAN

            Kata kurikulum dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Kata ini belum terdapat dalam kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamus pada tahun 1856. Kurikulum diartikan sebagai “chariot”, artinya semacam kereta pacu pada zaman dulu, yakni suatu alat yang membawa seseorang dari start sampai finish.[1]
Kurikulum sebagai suatu rancangan dalam pendidikan memiliki potensi yang strategis, karena seluruh kegiatan pendidikan bermuara pada kurikulum. Begitu pentingnya kurikulum sebagai sentra kegiatan pendidikan, maka di dalam penyusunannya memerluhkan landasan atau fondasi yang kuat, melalui pemikiran dan penelitian yang mendalam, karena itu bukan hal yang mustahil jika diberbagai tempat sterilisasi selalu menjadi polemik tersendiri di dalam proses pengembangan kurikulum.
            Proses pengembangan kurikulum memang merupakan sesuatu yang kompleks, karena tidak hanya menuntut penguasaan kemampuan secara teknis pengembangan berbagai komponen kurikulum dari para pengembang kurikulum, akan tetapi lebih dari itu para pengembang kurikulum harus mampu mengantisipasi berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum, baik faktor yang bersifat internal maupun eksternal.
            Pengaruh yang bersifat internal ini pada prinsipnya adalah pengaruh yang melekat pada diri pengembang kurikulum itu sendiri, sedemikian dekatnya pengaruh tersebut melekat pada diri pengembang sehingga mampu menjadi bagian dari pandangan pendidikannya. Dalam keadaan demikian pengaruh tadi bekerja secara langsung, bahkan seringkali tidak disadari pengembang itu sendiri. Pandangan filosofis seorang pengembang dalam kurikulum, pandangan tentang teori belajar, pandangan tentang perkembangan psikologis serta kedudukan anak dalam proses pendidikan adalah pengaruh yang menjadi landasan pengembangan kurikulum yang bersifat internal.
            Pengaruh lain yang bersifat eksternal, yaitu pengaruh-pengaruh yang datang secara langsung atau tidak langsung yang berasal dari pengembangan kurikulum, misalnya tekanan politik, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi manajerial pendidikan di lapangan, kondisi sosial budaya suatu lingkungan tertentu merupakan unsur-unsur eksternal yang mampu menjadi tekanan dalam intervensi terhadap kondisi kurikulum. Yang mana menyebutnya pengaruh-pengaruh sosial dan budaya lingkungan masyarakat tertentu dapat dikategorikan dalam social pressures.
Adapun alasannya bahwa intervensi unsur-unsur internal dan eksternal di dalam pengembangan kurikulum merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, begitu kuatnya pengaruh tersebut sehingga perlu diperhatikan seksama keberadaannya oleh para penegmbang kurikulum.[2]
Adapun beberapa unsur yang dapat dijadikan asas utama sebagai dasar pertimbangan dalam pengembangan kurikulum:
·         Asas filosofis, asas yang pada hakikatnya menentukan tujuan umum pendidikan.
·         Asas psikologis, asas yang memberikan prinsip-prinsip tentang perkembangan anak dalam berbagai aspek, serta cara belajar agar bahan yang disediakan dapat dicerna dan dikuasai anak.
·         Asas sosial-budaya ilmu pengetahuan dan teknologi, asas yang memberikan dasar untuk menentukan hal-hal yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan dan kemajuan teknologi.
·         Asas organisatoris, asas yang memberikan dasar-dasar dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran itu disusun, bagaimana luas dan urutannya.[3]

A.     ASAS FILOSOFIS
Pendidikan berinteraksi antarmanusia, terutama antara pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat isi yang berinteraksi serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis.[4]
Secara etimologis filsafat berasal dari dua kata yaitu philare yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta pada kebijaksanaan (love of wisdom). Agar seseorang dapat berbuat bijak, maka ia harus berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu berpikir secara sistematis, logis dan mendalam. Pola pikir semacam itu biasa disebut sebagai pemikiran radikal (radic), yang berarti berpikir sampai ke akar-akarnya. Filsasat mencangkup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segalayang ada sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui kedudukan manusia di dalamnya. Oleh karena itu filsafat dipandang oleh banyak kalangan sebagai induk segala ilmu (the mother of knowledge).[5]
Tahap berikutnya filsafat mempersoalkan tentang hidup dan eksistensi manusia, sebagai makhluk yang beragama, makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya. Dari telaah tersebut, filsafat mencoba mengkaji tiga pokok persoalan, yakni hakikat benar-salah (logika), hakikat baik-buruk (etika), dan hakikat indah jelek (estetika). Hakikat pandangan hidup manusia mencangkup ketiga hal tersebut (logika, etika, dan estetika). Kaitannya dengan kurikulum dari ketiga pandangan tersebut sangat diperluhkan terutama dalam menerapkan arah dan tujuan pendidikan. Dengan pengertian lain, ke arah mana pendidikan akan dibawa. Untuk itu perlu adanya kejelasan mengenai pandangan hidup manusia atau suatu bangsa. Setiap bangsa atau negara mempunyai tatanan dan pandangan hidup masing-masing berbeda-beda sesuai dengan ideologi yang mereka anut. Bagi bangsa Indonesia, sudah barang tentu menganut asas falsafah kita, yakni falsafah Pancasila yang menjadi acuan dasar kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya dalam menentukan arah pendidikan.[6] Tujuan pendidikan pun ditentukan oleh filsafat yang dianut oleh negara mereka yang berkuasa dan memerintah suatu negara. Kalau pemerintah bertukar, berubah pula tujuan pendidikannya.[7]

Di bawah ini dijelaskan beberapa aliran filsafat yang dominan, antara lain:
1.   Perennialisme
Perkataan Perennialisme berasal dari kata Perenial yang berarti abadi, terus menerus tiada akhir.[8] Aliran ini bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual anak memalui pengetahuan yang “abadi, universal dan absolut” atau “perennial” yang ditemukan dan diciptakan para pemikir unggul sepanjang masa, yang dihimpun dalam “the Great Books” atau “Buku Agung”. Kebenaran dalam buku itu tertahan teguh terhapad segala berubahan zaman.
Kurikulum yang diinginkan oleh aliran ini terdiri atas subject atau mata pelajaran terpisah sebagai disiplin ilmu denan menolak penggabungan seperti IPA dan IPS. Hanya mata pelajaran yang sungguh mereka anggap dapat mengembangkan kemampuan intelektual seperti matematika, fisika, kimia, biologi yang diajarkan, sedangkan yang berkenaan emosi dan jasmani seperti seni rupa, olah raga sebaiknya dikesampingkan. Pelajaran yang diberikan termasuk pelajaran sulit karena memerluhkan intelegensi tinggi.
2.   Idealisme
Berpendapat bahwa kebenaran itu berasal dari “atas”, dari dunia supra-natural dari Tuhan. Boleh dikatakan hampir semua agama menganut filsafat idealisme. Kebenaran dipercaya datangnya dari Tuhan yang diterima melalui wahyu. Kebenaran ini, termasuk dogma dan norma-normanya bersifat mutlak. Apa yang datang dari Tuhan baik dan benar. Tujuan hidup manusia adalah kehendak Tuhan.
Filsafat ini umumnya diterapkan di sekolah yang berorientasi religius. Semua siswa diharuskan mengikuti pelajaran agama, menghadiri khotbah dan membaca Kitab Suci. Biasanya disiplin termasuk ketat, pelanggaran diberi hukuman yang setimpal bahkan dapat dikeluarkan dari sekolah. Namun pendidikan intelektual juga sangat diutamakan dengan menentukan standar mutu yang tinggi.
3.   Realisme
Filsafat realisme mencari kebenaran di dunia ini sendiri. Melalui pengamatan dan penelitian ilmiah dapat ditemukan hukum-hukum alam. Mutu kehidupan senantiasa dapat ditingkatkan melalui kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan hidup ialah memperbaiki kehidupan melalui penelitian ilmiah.
Sekolah yang beraliran realisme mengutamakan pengetahuan yang sudah mantab sebagai hasil penelitian ilmiah yang dituangkan secara sistematis dalam berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran. Di sekolah akan dimulai dengan teori-teori dan prinsip-prinsip yang fundamental, kemudian praktik dan evaluasi.
Karena mengutamakan pengetahuan yang esensial, maka pelajaran dengan “embel-embel” seperti keterampilan dan kesenian dianggap tidak perlu.
4.   Pragmatisme
Aliran ini juga disebut aliran instrumentalisme atau utilitarianisme dan berpendapat bahwa kebenaran adalah buatan manusia berasarkan pengalaman. Tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran adalah tentatif dan dapat dirubah. Yang baik, ialah yang berakibat baik bagi masyarakat. Tujuan hidup adalah mengabdi kepada masyarakat dengan peningkatan kesejahteraan manusia.
            Tugas guru bukan mengajar dalam artian menyampaikan pengetahuan, melainkan memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan berbagai kegiatan guna memecahkan masalah, atas dasar kepercayaan bahwa belajar itu hanya dapat dilakukan oleh anak sendiri, bukan karena “dipompakan kepada anaknya”. Yang penting ialah bukan “what to think” melainkan “how to think” yakni melalui pemecahan masalah. Pengetahuan diperoleh bukan dengan mempelajari mata pelajaran, melainkan karena digunakan secara fungsional dalam memecahkan masalah.
Aliran pragmatisme sering sejalan dengan aliran rekonstruksionisme yang berpendirian bahwa sekolah harus berada pada garis depan pembangunan dan perubahan masyarakat. Sekolah ini menjauhi indokrinasi dan mengajak siswa secara kritis menganalisis isu-isu sosial.
Dalam perencanaan kurikulum orang tua dan masyarakat sering dilibatkan agar dapat memadukan sumber-sumber pendidikan formal dengan sumber sosial, politik dan ekonomi guna memperbaiki ekonomi kondisi hidup manusia. Banyak di antaranya penganut aliran ini memandang sekolah sebagai masyarakat kecil.
5.   Eksistensialisme
Filsafat ini mengutamakan individu sebagai faktor dalam menentukan apa yang baik dan benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan ditentukan masing-masing secara bebas, namun dengan pertimbangan jangan menyinggung perasaan orang lain. Tujuan hidup adalah menyempurnakan diri, merealisasika diri.
Sekolah yang didasarkan eksitensialisme mendidik anak agar ia menentukan pilihan dan keputusan sendiri dengan menolak otoritas orang lain. Ia harus bebas berpikir dan mengambil keputusan sendiri secara bertanggung jawab. Sekolah ini menolak segala kurikulum, pedoman, instruksi, buku wajib, dan lain-lain dari pihak luar. Anak harus mencari identitas sendiri, menentukan standarnya sendiri dan kurikulumnya sendiri.
Dari segala mata pelajaran, mungkin ilmu-ilmu sosial yang paling menarik mereka. Pendidikan moral tidak diajarkan kepada mereka, juga tidak ditetapkan aturan-aturan yang harus mereka patuhi. Bimbingan yang diberikan sering bersifat non-directive, di mana guru banyak mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tanpa mengingatkan apa yang harus dilakukan anak.

Pentingnya filsafat bagi pendidikan nyata bila kita ketahui besar manfaatnya bagi kurikulum yakni:
1.    Filsafat pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus dibimbing. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak menjadi manusia dan warga negara yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Jadi filsafat menentukan tujuan pendidikan.
2.    Dengan adanya tujuan pendidikan ada gambaran yang jelas tentang hasil pendidikan yang harus dicapai, manusia yang bagaimana yang harus dibentuk.
3.    Filsafat juga menentukan cara dan proses yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan itu.
4.    Filsafat memberi kebulatan kepada usaha pendidikan, sehingga tidak lepas-lepas. Dengan demikian terdapat kontinuitas dalam perkembangan anak.
5.    Tujuan pendidikan memberi petunjuk apa yang harus dinilai dan hingga mana tujuan itu telah dicapai.
6.    Tujuan pendidikan memberi motivasi dalam proses belajar mengajar, bila jelas diketahui apa yang ingin dicapai.[9]

B.     ASAS PSIKOLOGIS
Sekolah berfungsi menciptakan lingkungan belajar bagi para siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, sekolah perlu menyusun suatu program yang tepat dan serasi, sehingga memungkinkan para siswa melakukan kegiatan belajar yang efisien dan berhasil. Program tersebut dinamakan kurikulum. Itulah sebabnya, permasalahan psikologi belajar dan sifat-sifat belajar perlu mendapat perhatian, pembinaan dan pengembangan kurikulum.[10]
Dalam ensiklopedia Indonesia asas berarti suatu kebenaran atau pendirian, atau yang dijadikan pokok suatu keterangan. Asas psikologis berarti kegiatan yang mengacu pada hal-hal yang bersifat psikologi.[11]
Dalam proses perkembangan kurikulum, seorang pengembang harus memperhatikan kondisi psikologis anak, kebutuhan dan minat mereka, serta teori-teori dan psikologi belajar. Para pengembang kurikulum seyogyanya menjadikan anak seebagai salah satu pokok pemikiran, agar anak dapat belajar dengan baik, dapat menguasai sejumlah pengetahuan, dapat merubah sikapnya, dapat menerima norma-norma atau nilai-nilai serta dapat menguasai sejumlah keterampilan yang diharapkan. Masalahnya adalah bagaimanakah anak itu belajar? Apabila telah diketahui bagaimana proses belajar itu bisa berjalan dengan baik dan benar, bagaimana belajar yang menghasilkan sesuatu yang berguna, maka kurikulum akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Untuk memilih hal yang rumit dan kompleks itulah akhirnya muncul teori-teori belajar melalui berbagai penelitian empiris.
Dalam mengambilan keputusan tentang kurikulum pengetahuan tentang psikologi anak dan bagaimana anak belajar, sangat diperluhkan antara lain dalam:
1.    Seleksi dan organisasi bahan pelajaran
2.    Menentukan kegiatan belajar yang paling serasi
3.    Merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar tercapai.[12]

a)    Psikologi Belajar
Psikologi belajar merupakan suatu kajian bagaimana seseorang belajar, baik secara individu maupun kelompok.[13]
Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tidak lain adalah hasil darii belajar. Kita pun hidup dan bekerja menurut apa yang telah kita pelajari. Belajar itu bukan sekedar pengalaman. Belajar adalah suatu proses, dan bukan suatu hasil. Karena itu belajar berlangsung secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan.[14]
N. S. Sukmadinata mendefisinikan belajar sebagai perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. N. S. Syaodih mengemukakan bahwa segala perubahan tingkah laku, baik yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor yang terjadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Belajar adalah perubahan kecakapan atau kemampuan manusia yang menetap dalam kurun waktu tertentu yang tidak secara sederhana dapat dihubungkan dengan proses pertumbuhan. Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, kemampuan atau kecakapan seseorang akan termanifestasi dalam pribadinya melalui pengalaman, sementara pengalaman terbentuk karena latihan-latihan yang berkesinambungan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Kemampuan, kecakapan atau keterampilan dapat menurun atau hilang sama sekali jika lama tidak dipergunakan.

Tiga macam psikologi belajar yang berkembang adalah:
1)    Psikologi Daya (faculty psychology)
Diperkenalkan oleh C. Von Wolff dan dikembangkan oleh pengikut-pengikutnya sampai mencapai puncaknya pada pertengahan kedua dari abad ke XIX. Teori ini mengemukakan bahwa otak manusia terdiri dari sejumlah daya atau faculties yang masing-masing nmempunyai fungsi tertentu, antara lain fungsi intelektual atau penalaran, fungsi perasaan atau selera, dan fungsi kemauan atau keinginan.
2)    Psikologi Asosiasi (association psychology)
Mencangkup structuralism, functionalism dan behavioralism menjadi dasar pengembangan teori-teori: Thorndike’s connectionism, Guthrie’s contiguous conditioning, Hull’s systematic behavior theory, Skinner’s operant conditioning, dan lain-lain.
3)    Psikologi keseluruhan (gestalt psychology)
Diperkenalkan oleh Max Wertheimer mula-mula hanya difokuskan pada proses mempersepsi dan pemecahan masalah. Teori ini mengungkapkan bahwa, perkembangan kognitif manusia hendaknya jangan dipandang sebagai perkembangan sejumlah daya-daya, melainkan sebagai suatu keseluruhan “... oraganisme yang dinamis yang senantiasa dalam keadaan berinteraksi dengan lingkungannya untuk mencapai tujuan-tujuannya. Teori belajar yang dikembangkan berdasarkan psikologi gestalt adalah  Tolman’s sign learning dan information-processing.[15]

b)    Psikologi Perkembangan Anak; Teori Perkembangan Kognitif
Teori psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi pendidikan. Psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya.[16]
Menurut teori ini kematangan mental berkembang secara berangsur-angsur pada individu berkat interaksinya sebagai pelajar dengan lingkungan. Anak-anak harus dibimbing dengan hati-hati, diberi bahan pelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitifnya, dan diberi bantuan agar mereka maju ke arah tingkat perkembangan berikutnya. Tokoh-tokoh utama aliran ini adalah Jhon Dewey dan Jean Piaget.

J. Piaget menemukan empat tahap utama dalam perkembangan kognitif-intelektual, yakni:
a)    Tahap senso-motoris (sejak lahir sampai 2 tahun). Bayi menjajaki dunia sekitarnya melalui alat drianya (sensorik: [englihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan, dan perabaan). Kemampuan bergerak, merangkak dan berjalan (motoris) memperluas dunianya dan mempertemukannya dengan berbagai ragam pengaruh lingkungan yang baru.
b)    Tahap pra-operasional (2 sampai 7+ tahun). Dunia atau lingkungan dapat dikenalnya melalui lambang (warna, bentuk, gambar). Melalui persepsinya ia mulai memahami dunianya dan mengenal peranannya serta peranan orang lain.
c)    Tahap operasional konkrit (7+ sampai 11 tahun). Anak mulai mengenal logika.
d)    Tahap operasional formal (kurang lebih 11 tahun lebih). Anak mulai sanggup berpikir abstrak dan memecahkan masalah secara formal, tanpa menghadapi objek secara langsung. Anak pra-puber ini mulai mencari alasan atau sebab di belakang kejadian-kejadian. Ia mulai membentuk hipotesis dan menguji sesuatu secara eksperimental dalam proses belajar maupun dalam kehidupannya.

Jhon Dewey mengemukakan tahap-tahap perkembangan moral dengan memanfaatkan teori J. Piaget, yakni:
a)    Tahap a-moral, anak kecil belum menghiraukan orang lain, ia tak sadar akan yang benar dan yang salah.
b)    Tahap konvensional, anak menghormati nilai-nilai konvensional yang diperolehnya dari orang tua dan masyarakat. Ia merespon terhadap pujian dan hukuman yang diberikan orang dewasa sebagai dasar norma agama.

Menurut John Dewey ada tiga tujuan pendidikan, yaitu:
1)    Mengajarkan kerjasama.
2)    Mengajarkan penyesuaian sosial.
3)    Mengajarkan demokrasi atau kewarganegaraan aktif.

Untuk mencapai tujuan itu, guru harus mengetahui taraf perkembangan anak, agar dapat memberi jenis kegiatan belajar yang sesuai serta ganjaran dan hukuman yang tepat guna membangkitkan motivasi anak.[17]

C.  ASAS SOSIAL-BUDAYA, ILMU PENGETAHUAN DAN TEKHNOLOGI
1.      Asas Sosial-Budaya
Landasan sosiologis perkembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Dipandang dari sosiologi, pendidikan adalah proses mempersiapkan individu agar menjadi warga masyarakat yang diharapkan, pendidikan adalah proses sosialisasi, dan berdasarkan pandangan antropologi, pendidikan adalah “enkulturasi” atau pembudayaan. “Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang lain, tetapi manusia yang lebih bermutu, mengerti, dan mampu membangun masyarakat. Oleh karena itu, isi, tujuan, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut”.
Pendidikan adalah proses sosialisasi melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks inilah anak didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia.

a)    Masyarakat dan Kurikulum
Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke dalam kelompok-kelompok berbeda, atau suatu kelompok individu yang terorganisasi yang berpikir tentang darinya sebagai suatu yan berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Dengan demikian, yang membedakan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya adalah kebudayaan. Hal ini mempunya implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang, dan reaksi seseorang terhadap lingkungannya sangat tergantung kepada kebudayaan di mana ia hidup.
Pendidikan harus mengantisipasi tuntutan hidup ini sehingga dapat mempersiapkan anak didik untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Dalam konteks inilah kurikulum sebagai program pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan masyarakat. Untuk dapat menjawab tuntutan tersebut bukan hanya pemenuhan dari segi kurikulum saja, melainkan juga dari segi pendekatan dan strategi pelaksanaannya. Oleh karena itu, guru sebagai pembina dan pelaksana kurikulum dituntut untuk lebih peka mengantisipasi perkembanan masyarakat, agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi kehidupan masyarakat.[18]

b)    Kebudayaan dan Kurikulum
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan ide atau gagasan, cita-cita, pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian, dan nilai yang telah disepakati oleh masyarakat. [19]
Faktor kebudayaan merupakan bagian penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan:
(1)  Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dsb. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan sekolah/lembaga pendidikan. Oleh karena itu, sekolah/lembaga pendidikan mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum.
(2)  Kurikulum pada dasarnya harus mengakomodasi aspek-aspek sosial dan budaya. Pendidikan di sekolah pada dasarnya bertujuan mendidik anggota masyarakat agar dapat hidup berintegrasi, berinteraksi dan beradaptasi dengan anggota masyarakat lainnya serta meningkatkan kualitas hidupnya sebagai makhluk berbudaya. Hal ini membawa implikasi bahwa kurikulum sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan harus bermuatan kebudayaan yang bersifat umum seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.

Selain pendidikan yang bermuatan kebudayaan yang bersifat umum di atas, terdapat pula pendidikan yang bermuatan kebudayaan khusus, yaitu untuk aspek-aspek kehidupan tertentu dan berkenaan dengan kelompok yang bersifat vokasional.
Dilihat dari karakteristik sosial budaya, setiap daerah di wilayah tanah air Indonesia memiliki ciri khas mengenai adat-istiadat, tata krama pergaulan, kesenian, bahasa lisan maupun tulisan, kerajinan dan nilai kehidupan masing-masing. Keanekaragam tersebut bukan hanya dalam kebudayaan, tetapi juga kondisi alam dan lingkungan sosialnya, dan ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan dan dikembangkan melalui upaya pendidikan. Beranjak dari kenyataan tersebut, maka pengembangan kurikulum sekolah harus mengakomodasi unsur-unsur lingkungan yang menjadi dasar dalam menetapkan materi kurikulum muatan lokal.[20]

2.      Asas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ilmu pengetahuan adalah seperangkat pengetahuan yang disusun secara sistematis yang dihasilkan melalui riset atau penelitian. Sedangkan teknologi adalah aplikasi dari ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupan. Ilmu dan teknologi tidak bisa dipisahkan. Sejak abad pertengahan ilu pengetahuan telah berkembang pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa kini banyak didasari oleh penemuan dan hasil pemikiran filsuf purba seperti Plato, Aristoteles, John Dewey, Archimides, dll.
Seiring dengan perkembangan pemikiran manusia, dewasa ini banyak dihasilkan temuan-temuan baru dalam bidang kehidupan manusia seperti kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan kehidupan lainnya. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) bukan menjadi monopoli suatu bangsa atau kelompok tertentu. Baik secara langsung maupun tidak langsung perekambangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut berpengaruh pula terhadap pendidikan. Perkembangan teknologi industri mempunyai hubungan timbal balik dengan pendidikan. Industri dengan teknologi maju memproduksi berbagai macam alat-alat dan bahan yang secara langsung atau tidak langsung dibutuhkan dalam pendidikan dan sekaligus menuntut sumber daya manusia yang andal untuk mengaplikasikannya.
Kegiatan pendidikan membutuhkan dukungan dari penggunaan alat-alat hasil industri seperti televisi, radio, video, komputer, dan peralatan lainnya. Penggunaan alat-alat yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan program pendidikan, apalagi di saat perkembangan produk teknologi komunikasi yang semakin canggih, menuntut pengetahuan dan keterampilan serta kecakapan yang memadai dari para guru dan pelaksana program pendidikan lainnya. Mengingat pendidikan merupakan upaya menyiapkan siswa menghadapi masa depan dan perubahan masyarakat yang semakin pesat termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum yang di dalamnya mencakup pengembangan isi/materi pendidikan, penggunaan strategi dan media pembelajaran, serta penggunaan sistem evaluasi. Secara tidak langsung menuntut dunia pendidikan untuk dapat membekali peserta didik agar memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan.[21]

D.  ASAS ORGANISATORIS
Suatu aktivitas dalam mencapai tujuan pendidikan formal perlu suatu bentuk pola yang jelas tentang bahan yang akan disajikan atau diproseskan kepada peserta didik. Pola atau bentuk bahan yang akan disajikan inilah yang dimaksud organisasi kurikulum. Organisasi kurikulum adalah suatu faktor yang penting sekali dalam pengembangan dan pembinaan kurikulum dan bertalian erat dengan tujuan program pendidikan yang hendak dicapai, karena bentuk kurikulum menentukan isi bahan pelajaran dan cara penyajiannya.[22]
Nasution mengatakan bahwa organisasi kurikulum adalah pola atau bentuk penyusunan bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada murid-murid. Organisasi kurikulum sangat erat hubungannya dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai karena pola-pola yang berbeda akan mengakibatkan isi dan cara penyampaian pelajaran yang berbeda pula.[23]
Organisasi bahan pelajaran yang dipilih harus serasi dengan tujuan dan sasaran kurikulum, yang pada dasarnya disusun dari yang paling sederhana kepada yang kompleks, dari yang konkrit kepada yang abstrak, dari yang ranah (domain) tingkat rendah kepada ranah yang lebih tinggi, baik kognitif, afektif maupun psikomotor.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan asas organisatoris adalah:
1.    Tujuan bahan pelajaran
Apakah mengajarkan keterampilan untuk masa sekarang atau mengajarkan keterampilan untuk masa depan, apakah untuk memecahkan masalah, untuk mengembangkan nilai-nilai, untuk mengembangkan ciri ilmiah, atau untuk memupuk jiwa warga negara yang baik.
2.    Sasaran bahan pelajaran
Siapakah peserta didiknya? Apakah latar belakang pendidikan dan pengalamannya? Sampai manakah tingkat perkembangannya? Bagaimana profil kepribadian dan motivasinya?.
3.    Pengorganisasian bahan
Bagaimana pelajaran diorganisir, apakah berdasarkan topik, konsep kronologi atau yang lainnya? Apakah jenis organisasi kurikulum yang dipakai, apakah sparated subject curriculum atau correlated curriculum?.
Apabila mengikuti model sparated subject curriculum, maka mata pelajaran disajikan secara terpisah-pisah, seperti Nahwu, Sharaf, Muthala’ah, Muhadatsah, Khithabah dan seterusnya. Apabila mengikuti model correlated curriculum maka bisa dalam bentuk penggabungan mata pelajaran yang tersebut di atas menjadi Bahasa Arab, Sejarah Islam, Fiqh menjadi Pendidikan Agama Islam (PAI), atau memilih tema tertentu yang dibahas dalam perspektif ilmu tertentu. Apabila mengikuti model integrated curriculum maka dalam prakteknya menghilangkan batasan-batasan mata pelajaran dengan topik bahasan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Semua model organisasi kurikulum tersebut tentu memiliki kelebihan di samping kelemahan masing-masing. Tetapi suatu sekolah dapat mengadopsi dan mengggabungkan semua model tersebut, untuk mengeliminir kelemahan atau kekurangan yang ada satu model organisasi kurikulum tersebut, sehingga menjadi suatu bentuk kurikulum komprehensif.
Pemahaman terhadap asas-asas tersebut bagi para pengembang kurrikulum sangat penting dan amat dibutuhkan untuk dapat menghasilkan suatu bentuk kurikulum yang ideal yang diharapkan oleh semua pihak. Pertama kurikulum harus sesuai dengan falsafah bangsa yaitu Pancasila, relevan dengan kebutuhan, minat, psikologi belajar dan psikologi perkembangan anak, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat dan keragaman budaya (multikultural) serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memilih organisasi kurikulum yang sesuai dengan latar belakang anak, materi pelajaran, dan jenjang atau jenis pendidikan tertentu. Dalam hal ini Adiwikarta mnegingatkan para pengembang kurikulum harus mempertimbangkan tiga hal yaitu kekinian dan kedisinian, kemasadepanan dan kepentingan kesatuan pendidikan. Kurikulum yang dikembangkan harus aktual dan tidak ketinggalan jaman serta relevan dengan kondisi masyarakat sekitar. Mampu mengantisipasi tantangan masa depan yang kompetitif-global serta menjamin kepentingan dan mendukung keberlangsungan lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pengguna lulusan (stake holders).[24]









BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
1.    Asas filosofis dalam penyusunan kurikulum, berarti bahwa penyusunan kurikulum hendaknya berdasar dan terarah pada falsafah yang dianut.
2.    Asas psikologis dalam proses perkembangan kurikulum adalah dimana seorang pengembang harus memperhatikan kondisi psikologis anak, kebutuhan dan minat mereka, serta teori-teori dan psikologi belajar.
3.    Asas sosial-budaya ilmu pengetahuan dan teknologi, asas yang memberikan dasar kurikulum untuk menentukan hal-hal yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan dan kemajuan teknologi.
4.    Asas organisatoris, asas yang memberikan dasar-dasar kurikulum dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran itu disusun, bagaimana luas dan urutannya.



















DAFTAR RUJUKAN

Ahmad dkk., Pengembangan Kurikulum. Bandung: CV Pustaka Setia, 1998.
Anggota IKAPI. Pengantar Kurikulum. Surabaya: Bina Ilmu, 1984.
Dakir, Perencanaan dan pengembangan  Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Effendi, Mohammad. Kurikulum dan Pembelajaran: Pengantar Ke Arah Pemahaman KBK, KTSP, dan SBI. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang, 2008.
Hamalik, Oemar. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Jamaluddin, Dery. Asas-Asas Kurikulum. link: http://deryjamaluddin.page.tl/Asas_asas-Kurikulum.htm, diakses tanggal 12 Oktober 2013.
Manab, Abdul. Pengembangan Kurikulum Pendidikan. Jakarta: Bina Ilmu, 2004.
Maunah, Binti. Pendidikan Kurikulum SD-MI. Surabaya: Elkaf, 2005.
Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
_________. Kurikulum dan Pengajaran. Bandung: Bumi Aksara, 2006.
Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Sukirman dan Asra, Dadang. Landasan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Suryosubroto. Tatalaksana Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Syaodih Sukmadinata, Nana. Perencanaan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Zaini, Muhammad. Pengembangan Kurikulum: Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi. Yogyakarta: Teras, 2009.




[1] Dery jamaluddin, Asas-Asas Kurikulum, link: http://deryjamaluddin.page.tl/Asas_asas-Kurikulum.htm, diakses tanggal 12 Oktober 2013.
[2] Moh. Effendi, Kurikulum dan Pembelajaran: Pengantar Ke Arah Pemahaman KBK, KTSP, dan SBI, (Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang, 2008), hal. 23.
[3] Ahmad dkk., Pengembangan Kurikulum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998) hal. 15
[4] Nana Syaodih Sukmadinata, Perencanaan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 38-39.
[5] Muhamad Zaini, Pengembangan Kurikulum: Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi, (Surabaya: Elkaf, 2006), hal.17.
[6] Binti Maunah, Pendidikan Kurikulum SD-MI, (Surabaya: Elkaf, 2005), hal. 6.
[7] Abdul Manaf, Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hal. 37.
[8] Anggota IKAPI, Pengantar Kurikulum, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), hal. 39.
[9] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal. 23-28.
[10] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 105.
[11] Dakir, Perencanaan dan pengembangan  Kurikulum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 64.
[12] Muhamad Zaini, Pengembangan Kurikulum..., hal. 22-23.
[13] Tedjo Narsoyo Reksoatmojo, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hal 34.
[14] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal. 104.
[15] Tedjo Narsoyo Reksoatmojo, Pengembangan..., hal. 35.
[16] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 111.
[17] S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Bandung: Bumi Aksara, 2006), hal. 29-32.
[18] Dadang Sukirman dan Asra, Landasan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 37-38.
[19] Ibid., Hal. 39.
[20] Ibid., hal. 40.
[21] Ibid., hal. 42-43.
[22] Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum: Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 56.
[23] Suryosubroto, Tatalaksana Kurikulum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 1.
[24] Muhammad Zaini, Pengembangan..., hal.57-59.