ASAS-ASAS KURIKULUM
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kurikulum merupakan suatu rancangan pendidikan
yang memiliki kedudukan cukup penting dalam seluruh kegiatan pendidikan, juga
menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Penyususnan kurikulum tidak
dapat dikerjakan secara sembarangan, mengingat pentingnya peran kurikulum di
dalam pendidikan perkembangan kehidupan manusia secara umum.
Dalam pengembangan kurikulum, ada beberapa
landasan utama, yaitu asas psikologi anak Indonesia sendiri, asas sosiologi
atau keadaan bangsa Indonesia sendiri, asas perkembangan IPTEKS di dunia, dan
asas filsafat bangsa Indonesia sendiri, yaitu filsafat pancasila.
Perkembangan psikologis anak Indonesia belum
secara penuh diteliti oleh bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan banyaknya suku
bangsa di Indonesia yang memiliki berbagai ciri khas. Pada dasarnya psikologis
anak inilah yang nantinya dijadikan dasar-dasar pembelajaran sesuai dengan yang
diharapkan oleh kurikulum yang berlaku.
Kurikulum hendaknya memperhatikan keadaan
lingkungan fisik maupun lungkungan non fisik. Agar kurikulum berdasar keadaan
sekitar lahirlah kurikulum muatan local yang dasarnya pada keadaan lingkungaan
setampat.
Perkembangan IPTEKS di Indonesia disadari
bahwa masih tertinggal jika dibandingan dengan negara-negara maju lainnya. Oleh
karena itu, bahan-bahan berupa IPTEKS yang dicantumkan dalam kurikulum di
Indonesia masih dikejar.
Hingga kini filsafat pancasila yang dianut
oleh bangsa Indonesia masih merupakan bahan yang ideal. Namun terkadang
sebagian besar di sekolah-sekolah pendidikan pancasila masih bersifat
pengajaran kognitif. Jadi, Pendidikan pancasila di Indonesia diharapkan dapat
membentuk watak kepribadian bangsa Indonesia.
Demikian gambaran ke-empat dasar kurikulum
tersebut yang harus dijadikan landasan untuk pengembangan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah asas Filosofis itu?
2.
Apakah asas Psikologis itu?
3.
Apakah asas Soaial-Budaya, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
itu?
4.
Apakah asas Organisatoris itu?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk mendiskripsikan tentang asas Filosofis.
2.
Untuk mendiskripsikan tentang asas Psikologis.
3.
Untuk mendiskripsikan tentang asas Sosial-Budaya, Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
4.
Untuk mendiskripsikan tentang asas Organisatoris.
BAB II
PEMBAHASAN
Kata kurikulum dikenal sebagai suatu istilah dalam
dunia pendidikan sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Kata ini belum
terdapat dalam kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk
pertama kalinya dalam kamus pada tahun 1856. Kurikulum diartikan sebagai “chariot”,
artinya semacam kereta pacu pada zaman dulu, yakni suatu alat yang membawa
seseorang dari start sampai finish.[1]
Kurikulum
sebagai suatu rancangan dalam pendidikan memiliki potensi yang strategis,
karena seluruh kegiatan pendidikan bermuara pada kurikulum. Begitu pentingnya
kurikulum sebagai sentra kegiatan pendidikan, maka di dalam penyusunannya
memerluhkan landasan atau fondasi yang kuat, melalui pemikiran dan penelitian
yang mendalam, karena itu bukan hal yang mustahil jika diberbagai tempat
sterilisasi selalu menjadi polemik tersendiri di dalam proses pengembangan
kurikulum.
Proses pengembangan kurikulum memang
merupakan sesuatu yang kompleks, karena tidak hanya menuntut penguasaan
kemampuan secara teknis pengembangan berbagai komponen kurikulum dari para
pengembang kurikulum, akan tetapi lebih dari itu para pengembang kurikulum
harus mampu mengantisipasi berbagai faktor yang berpengaruh terhadap
pengembangan kurikulum, baik faktor yang bersifat internal maupun eksternal.
Pengaruh yang bersifat internal ini
pada prinsipnya adalah pengaruh yang melekat pada diri pengembang kurikulum itu
sendiri, sedemikian dekatnya pengaruh tersebut melekat pada diri pengembang
sehingga mampu menjadi bagian dari pandangan pendidikannya. Dalam keadaan demikian
pengaruh tadi bekerja secara langsung, bahkan seringkali tidak disadari
pengembang itu sendiri. Pandangan filosofis seorang pengembang dalam kurikulum,
pandangan tentang teori belajar, pandangan tentang perkembangan psikologis
serta kedudukan anak dalam proses pendidikan adalah pengaruh yang menjadi
landasan pengembangan kurikulum yang bersifat internal.
Pengaruh lain yang bersifat
eksternal, yaitu pengaruh-pengaruh yang datang secara langsung atau tidak
langsung yang berasal dari pengembangan kurikulum, misalnya tekanan politik,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi manajerial pendidikan di
lapangan, kondisi sosial budaya suatu lingkungan tertentu merupakan unsur-unsur
eksternal yang mampu menjadi tekanan dalam intervensi terhadap kondisi
kurikulum. Yang mana menyebutnya pengaruh-pengaruh sosial dan budaya lingkungan
masyarakat tertentu dapat dikategorikan dalam social pressures.
Adapun
alasannya bahwa intervensi unsur-unsur internal dan eksternal di dalam
pengembangan kurikulum merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, begitu
kuatnya pengaruh tersebut sehingga perlu diperhatikan seksama keberadaannya
oleh para penegmbang kurikulum.[2]
Adapun
beberapa unsur yang dapat dijadikan asas utama sebagai dasar pertimbangan dalam
pengembangan kurikulum:
·
Asas filosofis, asas yang pada hakikatnya menentukan
tujuan umum pendidikan.
·
Asas psikologis, asas yang memberikan prinsip-prinsip
tentang perkembangan anak dalam berbagai aspek, serta cara belajar agar bahan
yang disediakan dapat dicerna dan dikuasai anak.
·
Asas sosial-budaya ilmu pengetahuan dan teknologi, asas
yang memberikan dasar untuk menentukan hal-hal yang akan dipelajari sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan dan kemajuan teknologi.
·
Asas organisatoris, asas yang memberikan dasar-dasar
dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran itu disusun, bagaimana luas dan
urutannya.[3]
A. ASAS FILOSOFIS
Pendidikan berinteraksi antarmanusia,
terutama antara pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di
dalam interaksi tersebut terlibat isi yang berinteraksi serta proses bagaimana
interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa
pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi
pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban
yang mendasar, yang esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis.[4]
Secara etimologis filsafat berasal
dari dua kata yaitu philare yang
berarti cinta dan sophia yang berarti
kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta pada kebijaksanaan (love of wisdom). Agar seseorang dapat berbuat bijak, maka ia harus
berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu
berpikir secara sistematis, logis dan mendalam. Pola pikir semacam itu biasa
disebut sebagai pemikiran radikal (radic),
yang berarti berpikir sampai ke akar-akarnya. Filsasat mencangkup keseluruhan
pengetahuan manusia, berusaha melihat segalayang ada sebagai satu kesatuan yang
menyeluruh dan mencoba mengetahui kedudukan manusia di dalamnya. Oleh karena
itu filsafat dipandang oleh banyak kalangan sebagai induk segala ilmu (the mother of knowledge).[5]
Tahap berikutnya filsafat
mempersoalkan tentang hidup dan eksistensi manusia, sebagai makhluk yang
beragama, makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya. Dari telaah tersebut,
filsafat mencoba mengkaji tiga pokok persoalan, yakni hakikat benar-salah
(logika), hakikat baik-buruk (etika), dan hakikat indah jelek (estetika).
Hakikat pandangan hidup manusia mencangkup ketiga hal tersebut (logika, etika,
dan estetika). Kaitannya dengan kurikulum dari ketiga pandangan tersebut sangat
diperluhkan terutama dalam menerapkan arah dan tujuan pendidikan. Dengan
pengertian lain, ke arah mana pendidikan akan dibawa. Untuk itu perlu adanya
kejelasan mengenai pandangan hidup manusia atau suatu bangsa. Setiap bangsa
atau negara mempunyai tatanan dan pandangan hidup masing-masing berbeda-beda
sesuai dengan ideologi yang mereka anut. Bagi bangsa Indonesia, sudah barang
tentu menganut asas falsafah kita, yakni falsafah Pancasila yang menjadi acuan
dasar kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya
dalam menentukan arah pendidikan.[6] Tujuan pendidikan pun
ditentukan oleh filsafat yang dianut oleh negara mereka yang berkuasa dan
memerintah suatu negara. Kalau pemerintah bertukar, berubah pula tujuan
pendidikannya.[7]
Di bawah ini dijelaskan beberapa
aliran filsafat yang dominan, antara lain:
1.
Perennialisme
Perkataan Perennialisme berasal dari
kata Perenial yang berarti abadi,
terus menerus tiada akhir.[8] Aliran ini bertujuan
mengembangkan kemampuan intelektual anak memalui pengetahuan yang “abadi,
universal dan absolut” atau “perennial” yang ditemukan dan diciptakan para
pemikir unggul sepanjang masa, yang dihimpun dalam “the Great Books” atau “Buku Agung”. Kebenaran dalam buku itu
tertahan teguh terhapad segala berubahan zaman.
Kurikulum yang diinginkan oleh aliran
ini terdiri atas subject atau mata
pelajaran terpisah sebagai disiplin ilmu denan menolak penggabungan seperti IPA
dan IPS. Hanya mata pelajaran yang sungguh mereka anggap dapat mengembangkan
kemampuan intelektual seperti matematika, fisika, kimia, biologi yang
diajarkan, sedangkan yang berkenaan emosi dan jasmani seperti seni rupa, olah
raga sebaiknya dikesampingkan. Pelajaran yang diberikan termasuk pelajaran
sulit karena memerluhkan intelegensi tinggi.
2.
Idealisme
Berpendapat bahwa kebenaran itu
berasal dari “atas”, dari dunia supra-natural dari Tuhan. Boleh dikatakan
hampir semua agama menganut filsafat idealisme. Kebenaran dipercaya datangnya
dari Tuhan yang diterima melalui wahyu. Kebenaran ini, termasuk dogma dan
norma-normanya bersifat mutlak. Apa yang datang dari Tuhan baik dan benar.
Tujuan hidup manusia adalah kehendak Tuhan.
Filsafat ini umumnya diterapkan di
sekolah yang berorientasi religius. Semua siswa diharuskan mengikuti pelajaran
agama, menghadiri khotbah dan membaca Kitab Suci. Biasanya disiplin termasuk
ketat, pelanggaran diberi hukuman yang setimpal bahkan dapat dikeluarkan dari
sekolah. Namun pendidikan intelektual juga sangat diutamakan dengan menentukan
standar mutu yang tinggi.
3.
Realisme
Filsafat realisme mencari kebenaran di
dunia ini sendiri. Melalui pengamatan dan penelitian ilmiah dapat ditemukan
hukum-hukum alam. Mutu kehidupan senantiasa dapat ditingkatkan melalui kemajuan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan hidup ialah memperbaiki kehidupan
melalui penelitian ilmiah.
Sekolah yang beraliran realisme
mengutamakan pengetahuan yang sudah mantab sebagai hasil penelitian ilmiah yang
dituangkan secara sistematis dalam berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran.
Di sekolah akan dimulai dengan teori-teori dan prinsip-prinsip yang
fundamental, kemudian praktik dan evaluasi.
Karena mengutamakan pengetahuan yang
esensial, maka pelajaran dengan “embel-embel” seperti keterampilan dan kesenian
dianggap tidak perlu.
4.
Pragmatisme
Aliran ini juga disebut aliran
instrumentalisme atau utilitarianisme dan berpendapat bahwa kebenaran adalah
buatan manusia berasarkan pengalaman. Tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran
adalah tentatif dan dapat dirubah. Yang baik, ialah yang berakibat baik bagi
masyarakat. Tujuan hidup adalah mengabdi kepada masyarakat dengan peningkatan
kesejahteraan manusia.
Tugas
guru bukan mengajar dalam artian menyampaikan pengetahuan, melainkan memberi
kesempatan kepada anak untuk melakukan berbagai kegiatan guna memecahkan
masalah, atas dasar kepercayaan bahwa belajar itu hanya dapat dilakukan oleh
anak sendiri, bukan karena “dipompakan kepada anaknya”. Yang penting ialah
bukan “what to think” melainkan “how to think” yakni melalui pemecahan
masalah. Pengetahuan diperoleh bukan dengan mempelajari mata pelajaran,
melainkan karena digunakan secara fungsional dalam memecahkan masalah.
Aliran pragmatisme sering sejalan
dengan aliran rekonstruksionisme yang
berpendirian bahwa sekolah harus berada pada garis depan pembangunan dan
perubahan masyarakat. Sekolah ini menjauhi indokrinasi dan mengajak siswa
secara kritis menganalisis isu-isu sosial.
Dalam perencanaan kurikulum orang tua
dan masyarakat sering dilibatkan agar dapat memadukan sumber-sumber pendidikan
formal dengan sumber sosial, politik dan ekonomi guna memperbaiki ekonomi
kondisi hidup manusia. Banyak di antaranya penganut aliran ini memandang
sekolah sebagai masyarakat kecil.
5.
Eksistensialisme
Filsafat ini mengutamakan individu
sebagai faktor dalam menentukan apa yang baik dan benar. Norma-norma hidup
berbeda secara individual dan ditentukan masing-masing secara bebas, namun
dengan pertimbangan jangan menyinggung perasaan orang lain. Tujuan hidup adalah
menyempurnakan diri, merealisasika diri.
Sekolah yang didasarkan
eksitensialisme mendidik anak agar ia menentukan pilihan dan keputusan sendiri
dengan menolak otoritas orang lain. Ia harus bebas berpikir dan mengambil
keputusan sendiri secara bertanggung jawab. Sekolah ini menolak segala
kurikulum, pedoman, instruksi, buku wajib, dan lain-lain dari pihak luar. Anak
harus mencari identitas sendiri, menentukan standarnya sendiri dan kurikulumnya
sendiri.
Dari segala mata pelajaran, mungkin
ilmu-ilmu sosial yang paling menarik mereka. Pendidikan moral tidak diajarkan
kepada mereka, juga tidak ditetapkan aturan-aturan yang harus mereka patuhi.
Bimbingan yang diberikan sering bersifat non-directive, di mana guru banyak
mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tanpa mengingatkan apa yang harus
dilakukan anak.
Pentingnya
filsafat bagi pendidikan nyata bila kita ketahui besar manfaatnya bagi
kurikulum yakni:
1. Filsafat
pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus dibimbing. Sekolah ialah
suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak menjadi
manusia dan warga negara yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Jadi filsafat
menentukan tujuan pendidikan.
2. Dengan adanya
tujuan pendidikan ada gambaran yang jelas tentang hasil pendidikan yang harus
dicapai, manusia yang bagaimana yang harus dibentuk.
3. Filsafat juga
menentukan cara dan proses yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan itu.
4. Filsafat memberi
kebulatan kepada usaha pendidikan, sehingga tidak lepas-lepas. Dengan demikian
terdapat kontinuitas dalam perkembangan anak.
5. Tujuan pendidikan
memberi petunjuk apa yang harus dinilai dan hingga mana tujuan itu telah
dicapai.
6. Tujuan pendidikan
memberi motivasi dalam proses belajar mengajar, bila jelas diketahui apa yang
ingin dicapai.[9]
B. ASAS PSIKOLOGIS
Sekolah
berfungsi menciptakan lingkungan belajar bagi para siswa untuk mencapai tujuan
pendidikan. Oleh karena itu, sekolah perlu menyusun suatu program yang tepat
dan serasi, sehingga memungkinkan para siswa melakukan kegiatan belajar yang
efisien dan berhasil. Program tersebut dinamakan kurikulum. Itulah sebabnya, permasalahan psikologi belajar dan
sifat-sifat belajar perlu mendapat perhatian, pembinaan dan pengembangan
kurikulum.[10]
Dalam
ensiklopedia Indonesia asas berarti suatu kebenaran atau pendirian, atau yang
dijadikan pokok suatu keterangan. Asas psikologis berarti kegiatan yang mengacu
pada hal-hal yang bersifat psikologi.[11]
Dalam
proses perkembangan kurikulum, seorang pengembang harus memperhatikan kondisi
psikologis anak, kebutuhan dan minat mereka, serta teori-teori dan psikologi
belajar. Para pengembang kurikulum seyogyanya menjadikan anak seebagai salah
satu pokok pemikiran, agar anak dapat belajar dengan baik, dapat menguasai
sejumlah pengetahuan, dapat merubah sikapnya, dapat menerima norma-norma atau
nilai-nilai serta dapat menguasai sejumlah keterampilan yang diharapkan.
Masalahnya adalah bagaimanakah anak itu belajar? Apabila telah diketahui
bagaimana proses belajar itu bisa berjalan dengan baik dan benar, bagaimana
belajar yang menghasilkan sesuatu yang berguna, maka kurikulum akan dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien. Untuk memilih hal yang rumit dan
kompleks itulah akhirnya muncul teori-teori belajar melalui berbagai penelitian
empiris.
Dalam
mengambilan keputusan tentang kurikulum pengetahuan tentang psikologi anak dan
bagaimana anak belajar, sangat diperluhkan antara lain dalam:
1.
Seleksi dan organisasi bahan pelajaran
2.
Menentukan kegiatan belajar yang paling serasi
3.
Merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tujuan
belajar tercapai.[12]
a) Psikologi Belajar
Psikologi
belajar merupakan suatu kajian bagaimana seseorang belajar, baik secara
individu maupun kelompok.[13]
Belajar
merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia
melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya
berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tidak lain adalah hasil
darii belajar. Kita pun hidup dan bekerja menurut apa yang telah kita pelajari.
Belajar itu bukan sekedar pengalaman. Belajar adalah suatu proses, dan bukan suatu
hasil. Karena itu belajar berlangsung secara aktif dan integratif dengan
menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan.[14]
N.
S. Sukmadinata mendefisinikan belajar sebagai perubahan perilaku yang terjadi
melalui pengalaman. N. S. Syaodih mengemukakan bahwa segala perubahan tingkah
laku, baik yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor yang terjadi
karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Belajar adalah perubahan kecakapan atau kemampuan
manusia yang menetap dalam kurun waktu tertentu yang tidak secara sederhana
dapat dihubungkan dengan proses pertumbuhan. Dari ketiga definisi tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa, kemampuan atau kecakapan seseorang akan
termanifestasi dalam pribadinya melalui pengalaman, sementara pengalaman
terbentuk karena latihan-latihan yang berkesinambungan, baik dalam aspek
kognitif, afektif maupun psikomotor. Kemampuan, kecakapan atau keterampilan
dapat menurun atau hilang sama sekali jika lama tidak dipergunakan.
Tiga
macam psikologi belajar yang berkembang adalah:
1)
Psikologi Daya (faculty
psychology)
Diperkenalkan oleh C. Von Wolff dan dikembangkan oleh
pengikut-pengikutnya sampai mencapai puncaknya pada pertengahan kedua dari abad
ke XIX. Teori ini mengemukakan bahwa otak manusia terdiri dari sejumlah daya
atau faculties yang masing-masing
nmempunyai fungsi tertentu, antara lain fungsi intelektual atau penalaran,
fungsi perasaan atau selera, dan fungsi kemauan atau keinginan.
2)
Psikologi Asosiasi (association
psychology)
Mencangkup structuralism, functionalism dan behavioralism menjadi dasar pengembangan teori-teori: Thorndike’s connectionism, Guthrie’s
contiguous conditioning, Hull’s systematic behavior theory, Skinner’s operant
conditioning, dan lain-lain.
3)
Psikologi keseluruhan (gestalt psychology)
Diperkenalkan oleh Max Wertheimer mula-mula hanya difokuskan pada proses
mempersepsi dan pemecahan masalah. Teori ini mengungkapkan bahwa, perkembangan
kognitif manusia hendaknya jangan dipandang sebagai perkembangan sejumlah
daya-daya, melainkan sebagai suatu keseluruhan “... oraganisme yang dinamis
yang senantiasa dalam keadaan berinteraksi dengan lingkungannya untuk mencapai
tujuan-tujuannya. Teori belajar yang dikembangkan berdasarkan psikologi gestalt adalah Tolman’s
sign learning dan information-processing.[15]
b) Psikologi Perkembangan Anak; Teori Perkembangan Kognitif
Teori
psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah
memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi pendidikan.
Psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental
manusia pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak
dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi,
kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya.[16]
Menurut
teori ini kematangan mental berkembang secara berangsur-angsur pada individu
berkat interaksinya sebagai pelajar dengan lingkungan. Anak-anak harus
dibimbing dengan hati-hati, diberi bahan pelajaran yang sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitifnya, dan diberi bantuan agar mereka maju ke arah tingkat
perkembangan berikutnya. Tokoh-tokoh utama aliran ini adalah Jhon Dewey dan Jean Piaget.
J.
Piaget menemukan empat tahap utama
dalam perkembangan kognitif-intelektual, yakni:
a)
Tahap senso-motoris
(sejak lahir sampai 2 tahun). Bayi menjajaki dunia sekitarnya melalui alat
drianya (sensorik: [englihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan, dan
perabaan). Kemampuan bergerak, merangkak dan berjalan (motoris) memperluas dunianya dan mempertemukannya dengan berbagai
ragam pengaruh lingkungan yang baru.
b)
Tahap pra-operasional
(2 sampai 7+ tahun). Dunia atau lingkungan dapat dikenalnya melalui lambang
(warna, bentuk, gambar). Melalui persepsinya ia mulai memahami dunianya dan
mengenal peranannya serta peranan orang lain.
c)
Tahap operasional
konkrit (7+ sampai 11 tahun). Anak mulai mengenal logika.
d)
Tahap operasional
formal (kurang lebih 11 tahun lebih). Anak mulai sanggup berpikir abstrak
dan memecahkan masalah secara formal, tanpa menghadapi objek secara langsung.
Anak pra-puber ini mulai mencari alasan atau sebab di belakang
kejadian-kejadian. Ia mulai membentuk hipotesis dan menguji sesuatu secara eksperimental
dalam proses belajar maupun dalam kehidupannya.
Jhon
Dewey mengemukakan
tahap-tahap perkembangan moral dengan memanfaatkan teori J. Piaget, yakni:
a)
Tahap a-moral,
anak kecil belum menghiraukan orang lain, ia tak sadar akan yang benar dan yang
salah.
b)
Tahap konvensional,
anak menghormati nilai-nilai konvensional yang diperolehnya dari orang tua
dan masyarakat. Ia merespon terhadap pujian dan hukuman yang diberikan orang
dewasa sebagai dasar norma agama.
Menurut
John Dewey ada tiga tujuan pendidikan, yaitu:
1)
Mengajarkan kerjasama.
2)
Mengajarkan penyesuaian sosial.
3)
Mengajarkan demokrasi atau kewarganegaraan aktif.
Untuk
mencapai tujuan itu, guru harus mengetahui taraf perkembangan anak, agar dapat
memberi jenis kegiatan belajar yang sesuai serta ganjaran dan hukuman yang
tepat guna membangkitkan motivasi anak.[17]
C. ASAS SOSIAL-BUDAYA, ILMU PENGETAHUAN DAN TEKHNOLOGI
1.
Asas Sosial-Budaya
Landasan sosiologis perkembangan
kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik
tolak dalam pengembangan kurikulum. Dipandang dari sosiologi, pendidikan adalah
proses mempersiapkan individu agar menjadi warga masyarakat yang diharapkan,
pendidikan adalah proses sosialisasi, dan berdasarkan pandangan antropologi,
pendidikan adalah “enkulturasi” atau pembudayaan. “Dengan pendidikan, kita
tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang lain, tetapi manusia yang lebih
bermutu, mengerti, dan mampu membangun masyarakat. Oleh karena itu, isi,
tujuan, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi,
karakteristik kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut”.
Pendidikan adalah proses sosialisasi
melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks inilah
anak didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai
dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia.
a)
Masyarakat dan Kurikulum
Masyarakat adalah suatu kelompok
individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke dalam kelompok-kelompok
berbeda, atau suatu kelompok individu yang terorganisasi yang berpikir tentang
darinya sebagai suatu yan berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya. Tiap
masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Dengan demikian, yang
membedakan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya adalah kebudayaan. Hal ini
mempunya implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang, dan
reaksi seseorang terhadap lingkungannya sangat tergantung kepada kebudayaan di
mana ia hidup.
Pendidikan
harus mengantisipasi tuntutan hidup ini sehingga dapat mempersiapkan anak didik
untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Dalam konteks
inilah kurikulum sebagai program pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan
tuntutan masyarakat. Untuk dapat menjawab tuntutan tersebut bukan hanya
pemenuhan dari segi kurikulum saja, melainkan juga dari segi pendekatan dan
strategi pelaksanaannya. Oleh karena itu, guru sebagai pembina dan pelaksana
kurikulum dituntut untuk lebih peka mengantisipasi perkembanan masyarakat, agar
apa yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi kehidupan masyarakat.[18]
b)
Kebudayaan dan Kurikulum
Kebudayaan
dapat diartikan sebagai keseluruhan ide atau gagasan, cita-cita, pengetahuan,
kepercayaan, cara berpikir, kesenian, dan nilai yang telah disepakati oleh masyarakat.
[19]
Faktor
kebudayaan merupakan bagian penting dalam pengembangan kurikulum dengan
pertimbangan:
(1) Individu lahir
tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan,
keterampilan, dsb. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan
lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan sekolah/lembaga
pendidikan. Oleh karena itu, sekolah/lembaga pendidikan mempunyai tugas khusus
untuk memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat
yang disebut kurikulum.
(2) Kurikulum pada
dasarnya harus mengakomodasi aspek-aspek sosial dan budaya. Pendidikan di
sekolah pada dasarnya bertujuan mendidik anggota masyarakat agar dapat hidup
berintegrasi, berinteraksi dan beradaptasi dengan anggota masyarakat lainnya
serta meningkatkan kualitas hidupnya sebagai makhluk berbudaya. Hal ini membawa
implikasi bahwa kurikulum sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan
pendidikan harus bermuatan kebudayaan yang bersifat umum seperti: nilai-nilai,
sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.
Selain
pendidikan yang bermuatan kebudayaan yang bersifat umum di atas, terdapat pula
pendidikan yang bermuatan kebudayaan khusus, yaitu untuk aspek-aspek kehidupan
tertentu dan berkenaan dengan kelompok yang bersifat vokasional.
Dilihat dari
karakteristik sosial budaya, setiap daerah di wilayah tanah air Indonesia
memiliki ciri khas mengenai adat-istiadat, tata krama pergaulan, kesenian,
bahasa lisan maupun tulisan, kerajinan dan nilai kehidupan masing-masing.
Keanekaragam tersebut bukan hanya dalam kebudayaan, tetapi juga kondisi alam
dan lingkungan sosialnya, dan ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang
perlu dilestarikan dan dikembangkan melalui upaya pendidikan. Beranjak dari
kenyataan tersebut, maka pengembangan kurikulum sekolah harus mengakomodasi
unsur-unsur lingkungan yang menjadi dasar dalam menetapkan materi kurikulum
muatan lokal.[20]
2.
Asas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ilmu pengetahuan adalah seperangkat pengetahuan
yang disusun secara sistematis yang dihasilkan melalui riset atau penelitian.
Sedangkan teknologi adalah aplikasi dari ilmu pengetahuan untuk memecahkan
masalah-masalah praktis dalam kehidupan. Ilmu dan teknologi tidak bisa
dipisahkan. Sejak abad pertengahan ilu pengetahuan telah berkembang pesat.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa kini banyak didasari oleh penemuan dan
hasil pemikiran filsuf purba seperti Plato, Aristoteles, John Dewey,
Archimides, dll.
Seiring dengan perkembangan pemikiran manusia,
dewasa ini banyak dihasilkan temuan-temuan baru dalam bidang kehidupan manusia
seperti kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan kehidupan lainnya. Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) bukan menjadi monopoli suatu bangsa atau
kelompok tertentu. Baik secara langsung maupun tidak langsung perekambangan
ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut berpengaruh pula terhadap pendidikan.
Perkembangan teknologi industri mempunyai hubungan timbal balik dengan
pendidikan. Industri dengan teknologi maju memproduksi berbagai macam alat-alat
dan bahan yang secara langsung atau tidak langsung dibutuhkan dalam pendidikan
dan sekaligus menuntut sumber daya manusia yang andal untuk mengaplikasikannya.
Kegiatan pendidikan membutuhkan
dukungan dari penggunaan alat-alat hasil industri seperti televisi, radio,
video, komputer, dan peralatan lainnya. Penggunaan alat-alat yang dibutuhkan
untuk menunjang pelaksanaan program pendidikan, apalagi di saat perkembangan
produk teknologi komunikasi yang semakin canggih, menuntut pengetahuan dan
keterampilan serta kecakapan yang memadai dari para guru dan pelaksana program
pendidikan lainnya. Mengingat pendidikan merupakan upaya menyiapkan siswa
menghadapi masa depan dan perubahan masyarakat yang semakin pesat termasuk di
dalamnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengembangan kurikulum
haruslah berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara langsung berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum yang di
dalamnya mencakup pengembangan isi/materi pendidikan, penggunaan strategi dan
media pembelajaran, serta penggunaan sistem evaluasi. Secara tidak langsung
menuntut dunia pendidikan untuk dapat membekali peserta didik agar memiliki
kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Selain itu perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan.[21]
D. ASAS ORGANISATORIS
Suatu
aktivitas dalam mencapai tujuan pendidikan formal perlu suatu bentuk pola yang
jelas tentang bahan yang akan disajikan atau diproseskan kepada peserta didik.
Pola atau bentuk bahan yang akan disajikan inilah yang dimaksud organisasi
kurikulum. Organisasi kurikulum adalah suatu faktor yang penting sekali dalam
pengembangan dan pembinaan kurikulum dan bertalian erat dengan tujuan program
pendidikan yang hendak dicapai, karena bentuk kurikulum menentukan isi bahan
pelajaran dan cara penyajiannya.[22]
Nasution
mengatakan bahwa organisasi kurikulum adalah pola atau bentuk penyusunan bahan
pelajaran yang akan disampaikan kepada murid-murid. Organisasi kurikulum sangat
erat hubungannya dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai karena pola-pola
yang berbeda akan mengakibatkan isi dan cara penyampaian pelajaran yang berbeda
pula.[23]
Organisasi
bahan pelajaran yang dipilih harus serasi dengan tujuan dan sasaran kurikulum,
yang pada dasarnya disusun dari yang paling sederhana kepada yang kompleks,
dari yang konkrit kepada yang abstrak, dari yang ranah (domain) tingkat rendah
kepada ranah yang lebih tinggi, baik kognitif, afektif maupun psikomotor.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan asas organisatoris adalah:
1.
Tujuan bahan pelajaran
Apakah mengajarkan keterampilan untuk masa sekarang atau
mengajarkan keterampilan untuk masa depan, apakah untuk memecahkan masalah,
untuk mengembangkan nilai-nilai, untuk mengembangkan ciri ilmiah, atau untuk
memupuk jiwa warga negara yang baik.
2.
Sasaran bahan pelajaran
Siapakah peserta didiknya? Apakah latar belakang pendidikan
dan pengalamannya? Sampai manakah tingkat perkembangannya? Bagaimana profil
kepribadian dan motivasinya?.
3.
Pengorganisasian bahan
Bagaimana pelajaran diorganisir, apakah berdasarkan
topik, konsep kronologi atau yang lainnya? Apakah jenis organisasi kurikulum
yang dipakai, apakah sparated subject
curriculum atau correlated curriculum?.
Apabila
mengikuti model sparated subject
curriculum, maka mata pelajaran disajikan secara terpisah-pisah, seperti
Nahwu, Sharaf, Muthala’ah, Muhadatsah, Khithabah dan seterusnya. Apabila
mengikuti model correlated curriculum maka
bisa dalam bentuk penggabungan mata pelajaran yang tersebut di atas menjadi Bahasa
Arab, Sejarah Islam, Fiqh menjadi Pendidikan Agama Islam (PAI), atau memilih
tema tertentu yang dibahas dalam perspektif ilmu tertentu. Apabila mengikuti
model integrated curriculum maka
dalam prakteknya menghilangkan batasan-batasan mata pelajaran dengan topik
bahasan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Semua model organisasi
kurikulum tersebut tentu memiliki kelebihan di samping kelemahan masing-masing.
Tetapi suatu sekolah dapat mengadopsi dan mengggabungkan semua model tersebut,
untuk mengeliminir kelemahan atau kekurangan yang ada satu model organisasi
kurikulum tersebut, sehingga menjadi suatu bentuk kurikulum komprehensif.
Pemahaman
terhadap asas-asas tersebut bagi para pengembang kurrikulum sangat penting dan
amat dibutuhkan untuk dapat menghasilkan suatu bentuk kurikulum yang ideal yang
diharapkan oleh semua pihak. Pertama kurikulum harus sesuai dengan falsafah
bangsa yaitu Pancasila, relevan dengan kebutuhan, minat, psikologi belajar dan
psikologi perkembangan anak, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat dan
keragaman budaya (multikultural) serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan memilih organisasi kurikulum yang sesuai dengan latar belakang
anak, materi pelajaran, dan jenjang atau jenis pendidikan tertentu. Dalam hal
ini Adiwikarta mnegingatkan para pengembang kurikulum harus mempertimbangkan
tiga hal yaitu kekinian dan kedisinian, kemasadepanan dan kepentingan kesatuan
pendidikan. Kurikulum yang dikembangkan harus aktual dan tidak ketinggalan
jaman serta relevan dengan kondisi masyarakat sekitar. Mampu mengantisipasi
tantangan masa depan yang kompetitif-global serta menjamin kepentingan dan
mendukung keberlangsungan lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pengguna
lulusan (stake holders).[24]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Asas filosofis dalam penyusunan kurikulum, berarti
bahwa penyusunan kurikulum hendaknya berdasar dan terarah pada falsafah yang
dianut.
2.
Asas psikologis dalam proses perkembangan kurikulum
adalah dimana seorang pengembang harus memperhatikan kondisi psikologis anak,
kebutuhan dan minat mereka, serta teori-teori dan psikologi belajar.
3.
Asas sosial-budaya ilmu pengetahuan dan teknologi, asas
yang memberikan dasar kurikulum untuk menentukan hal-hal yang akan dipelajari
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan dan kemajuan teknologi.
4.
Asas organisatoris, asas yang memberikan dasar-dasar
kurikulum dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran itu disusun, bagaimana luas
dan urutannya.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad dkk., Pengembangan Kurikulum.
Bandung: CV Pustaka Setia, 1998.
Anggota IKAPI. Pengantar Kurikulum. Surabaya: Bina Ilmu, 1984.
Dakir, Perencanaan dan pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Effendi,
Mohammad. Kurikulum dan Pembelajaran:
Pengantar Ke Arah Pemahaman KBK, KTSP, dan SBI. Malang: Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Malang, 2008.
Hamalik, Oemar.
Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Jamaluddin,
Dery. Asas-Asas Kurikulum. link: http://deryjamaluddin.page.tl/Asas_asas-Kurikulum.htm, diakses tanggal 12 Oktober 2013.
Manab, Abdul. Pengembangan Kurikulum Pendidikan.
Jakarta: Bina Ilmu, 2004.
Maunah, Binti. Pendidikan Kurikulum SD-MI. Surabaya: Elkaf, 2005.
Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
_________. Kurikulum dan Pengajaran. Bandung: Bumi Aksara, 2006.
Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Sukirman dan
Asra, Dadang. Landasan Pengembangan
Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Suryosubroto. Tatalaksana Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Syah, Muhibbin.
Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Syaodih
Sukmadinata, Nana. Perencanaan Kurikulum
Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Zaini,
Muhammad. Pengembangan Kurikulum: Konsep
Implementasi Evaluasi dan Inovasi. Yogyakarta: Teras, 2009.
[1] Dery jamaluddin, Asas-Asas Kurikulum, link: http://deryjamaluddin.page.tl/Asas_asas-Kurikulum.htm, diakses tanggal 12 Oktober 2013.
[2] Moh.
Effendi, Kurikulum dan Pembelajaran:
Pengantar Ke Arah Pemahaman KBK, KTSP, dan SBI, (Malang: Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Malang, 2008), hal. 23.
[3] Ahmad
dkk., Pengembangan Kurikulum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998) hal. 15
[4] Nana
Syaodih Sukmadinata, Perencanaan
Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 38-39.
[5] Muhamad
Zaini, Pengembangan Kurikulum: Konsep Implementasi
Evaluasi dan Inovasi, (Surabaya: Elkaf, 2006), hal.17.
[6] Binti
Maunah, Pendidikan Kurikulum SD-MI,
(Surabaya: Elkaf, 2005), hal. 6.
[7] Abdul
Manaf, Pengembangan Kurikulum,
(Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hal. 37.
[8] Anggota
IKAPI, Pengantar Kurikulum,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1984), hal. 39.
[9] S.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal. 23-28.
[10] Oemar
Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan
Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 105.
[11] Dakir, Perencanaan dan pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010),
hal. 64.
[12] Muhamad
Zaini, Pengembangan Kurikulum..., hal. 22-23.
[13] Tedjo
Narsoyo Reksoatmojo, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, (Bandung: Refika Aditama,
2010), hal 34.
[14] Wasty
Soemanto, Psikologi Pendidikan,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal. 104.
[15] Tedjo
Narsoyo Reksoatmojo, Pengembangan...,
hal. 35.
[17] S.
Nasution, Kurikulum dan Pengajaran,
(Bandung: Bumi Aksara, 2006), hal. 29-32.
[18] Dadang
Sukirman dan Asra, Landasan Pengembangan
Kurikulum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 37-38.
[19] Ibid.,
Hal. 39.
[20] Ibid.,
hal. 40.
[21] Ibid.,
hal. 42-43.
[22]
Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum:
Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal.
56.
[23]
Suryosubroto, Tatalaksana Kurikulum,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 1.
[24] Muhammad
Zaini, Pengembangan..., hal.57-59.
2 komentar:
Makasi informasinya..
Butuh banget buat nyusun tugas..
salam kenal :)
Makasi informasinya..
Butuh banget buat nyusun tugas..
salam kenal :)
Posting Komentar