Rabu, 21 Maret 2012

Di Balik Lukisan

Senyum itu semakin lebar ketika satu tarik kuas bercet merah tergores indah di sudut kanan bawah sebuah kanvas yang tak lagi putih. Sesosok pemuda berambut hitam berantakan dengan pancaran mata sewarna kelamnya malam tergambar pada kanvas miliknya. Sempurna, tatanan jas hitam membalut tubuh tegapnya, begroud warna hitam samar semakin membuat lukisan itu semakin hidup.
“Leonard Danique,” gumamnya kemudian sembari mengamati hasil mastespiece-nya.

Dengan telaten gadis berumur 23 tahun itu membenahi perlengkapan lukisnya sebelum sepasang lengan menginterupsi kegiatannya. Mendengus ia membalikan badan, menghadap sang pelaku interupsi.

“Wow, aku baru tahu kalau aku ternyata setampan ini,” ungkap sang pelaku dengan nada menggoda. Sukses mendapat hadiah pijakan kaki dari sang gadis.

“Hahaha… ini memang benar, Irsa, apapun yang kau lukis memang selalu indah dan terkesan hidup. Huh, kuharap kau tidak membuat aku cemburu dengan lukisan bergambar diriku ini,” kekeh sang lelaki.

Sang gadis mendengus kesal akan tingkah kekasihnya, dengan gusar diabaikan segala peralatan lukisnya yang terabaikan. Melangkah menghampiri sebuah piano di ruang yang sama.
“Kau bilang bakal menunjukan hasil lagu masterpiece-mu, Leon. Cepat tunjukan, dan kuharap bukan lagi lagu gombal tentang cinta,” sindir Irsa lengkap dengan senyum mengejeknya.

Leonard Danique―sang model dalam lukisan―mendekat dengan senyum pesonanya, mendudukkan diri pada bangku piano dengan percaya diri.

“Sebenarnya aku tak ingin memainkan lagu ini untukmu, Irsa. Kau tahu, aura nada pada lagu ini sering membuatku bergidik, dan aku takut terjadi―”

“Sudahlah cepat mainkan, aku harus menjemput adikku 5 menit lagi, Leon,” potong Irsa.
Jemari yang semula hanya bertumpuan pada tubuh piano itupun terangkat, sekedar mengupas apel merah untuk mengganjal rasa lapar yang tengah ia alami.

“Kuharap semuanya baik-baik saja, Sayang.” Leon menatap gadisnya untuk sesaat, “Aku mencintaimu selalu, Irsa Charlotte.”

Bersamaan kata terakhirnya, jemari Leon memulai satu nada awal dari lagu ciptaannya, berlanjut kedua bibirnya melafalkan tiap lirik lagu yang tersimpan pada benaknya.

It is autumn and the leaves are falling

All love has died on earth

The wind is weeping with sorrowful tears

My heart will never hope for a new spring again

My tears and my sorrows are all in vain

People are heartless, greedy and wicked...

Love has died!

The world has come to its end, hope has ceased to have a meaning

Cities are being wiped out, shrapnel is making music

Meadows are coloured red with human blood

There are dead people on the streets everywhere

Kata orang lagu bisa membuat sesorang membaur dalam setiap intonasi yang tercipta, menerjemahkan arti pada setiap pikiran dan aliran darahnya. Lagu juga membuat ia seakan dikuasai rasa yang menguap pada setiap liriknya.
Dan itu yang tengah Irsa alami. Nada itu membuat hatinya bimbang dan gelap, ia gelisah sekaligus dingin pada satu waktu. Pikirannya terasa mengambil alih setiap gerak tubuhnya.

I will say another quiet prayer:

People are sinners,

Lord, they make mistakes...

The world has ended!

Bersamaan dengan bait terakhir berkumandang, pisau buah itu bergerak tanpa bisa ia kekang ke arah Leon. Tepat pada jantung dan kematiannya.

“Irsa, kau―”
Leon tak mampu untuk sekedar mendesis ketika tusukan demi tusukan ia dapati. Dengan sendu ia menatap penuh cinta pada bola mata biru Irsa yang kosong tak lagi bersinar.

Leon menggeleng lemah. Ini bukan Irsa-nya, hanya itulah keyakinan yang ia miliki ketika sebuah tusukan membuatnya menemukan kematiaannya.

Hanya cipratan darah segar tercetak pada lantai ubin, dan―

―lukisan dirinya.

Darah itu seakan meresap pada kanvas bergambar dirinya, setelah kemudian hilang tak berbekas.

Lukisan itu hidup―

―sebagai sosok Leonard Danique yang baru.

Breaking News.
20 Agustus 1970.
Setelah seminggu ditemukannya seorang musisi terkenal, Leonard Danique, yang sampai sekarang tak ada rimba tentang siapa pelakunya. Dan berita tak terduka muncul kemarin malam tentang pujaan hati sang musisi, Irsa Charlotte yang ditemukan terbunuh pada acara kemping bersama adiknya. Kini warga Paris telah berduka akan kematian dua jiwa seni mereka. Leonard Danique, sang musisi terhebat abad ini, dan pelukis hebat mereka―Irsa Charlotte.


                                                                       Di Balik Lukisan


5 tahun kemudian.

Rumah mungil itu hampir tak ada bedanya dengan rumah-rumah pada umumnya. Hanya kesunyian yang membedakan dengan rumah di sisi kanan kirinya. Tapi setidaknya lewat setengah jam lagi rumah yang kesepian itu akan kedatangan sahabat yang tak terduga. Sahabat yang bisa membawa nuansa segar pada setiap ubin yang tak pernah lagi dijejaki kaki-kaki manusia.

Krieeet

Gumpalan debu langsung menyambut Risa ketika pertama kali menjejaki rumah tak berpenghuni itu. Dengan gusar dikibas-kibaskan kedua tangannya asal―berharap debu hilang dari titik jangkau bola mata birunya.
Tapi percuma, sekumpulan debu yang menghiasi tiap perabotan di ruang itu tak berubah―tetap setebal 5 menit yang lalu―dan…

Risa bergidik ngeri mendapati seekor laba-laba sebesar jempol kaki merayap di sudut samping tempatnya berdiri. Dengan gusar ia merogoh kantong celana jeansnya. Mengambil alat komunikasi yang tersimpan disana.

“Bisakah kau menjelaskan kenapa memberikan rumah jorok seperti ini, Daniel. Ya… ya… ya… cepat datang kalau aku tidak mau melaporkanmu kepada Mom karena tindakan cerobohmu ini.”

Klik.

Sambungan terputus.

Mengabaikan segala debu dan sarang laba-laba ia melangkah ke depan.
Sepatu berhak tinggi miliknya menggema setelah berhempasan dengan setiap lantai ubin yang ia jejaki.

“Tak buruk juga,” gumamnya senang.

.

.

“Benar kau tak mau ditemani, Risa?” Kembali Daniel mengulang kalimat yang sama sejak setengah jam yang lalu.

“Adikku Daniel, sudah kubilang aku tak apa sendiri. Dan terima kasih sudah membantuku bersih-bersih,” tegas Risa lagi.

“Aku mengkhawatirkanmu, Risa.” Daniel menatap sendu gadis di depannya.

“Terimakasih sudah mengkhawatirkanku, Hunny. Dan selamat malam.”

Risa mendesah, menatap mobil Daniel yang semakin lenyap dari pandangannya. Hari sudah gelap ketika ia menutup pintu rumahnya, melangkah ke dapur untuk membuat makan malamnya sendiri.

.

.
.

Risa Charlotte masih enggan mengalihkan tatapannya pada Televisi di depannya. Bosan. Ternyata tinggal sendiri memang terasa membosankan, meskipun awalnya ia begitu antusias membeli rumah atas hasil jerih payahnya sebagai musisi―kata Mom dan Daniel itulah pekerjaannya dulu sebelum ia lupa ingatan.

Malas ia beranjak dari duduk nyamannya, melangkah menuju ke arah dimana kamarnya berada. Tapi urung ketika sebuah lukisan menatap intens dengan kedua bola mata onyx-nya. Kelopak mata miliknya mengerjab kagum. Perlahan disekanya debu yang menempel pada permukaan kanvas.

“Menakjubkan,” gumamnya menikmati aura hidup yang terasa pada lukisan sosok laki-laki berjas hitam.

“Leonard Danique.” Sebuah tulisan tertoreh pada bagian kanan bawah kanvas.

“Aku baru sadar kalau kau ada di sini, Tuan Leon―itukan nama anda?”

Senyum Risa mengembang, jemarinya masih enggan menarik diri dari permukaan kanvas.

“Entah kenapa aku merasa mengenalmu, Tuan.” Risa menggeleng pelan, “Tapi itu tak mungkin, kan,” desisnya sebelum beranjak pergi.

.

.

.

.

Ting

It is autumn and the leaves are falling

Risa terjaga dari tidur nyenyaknya ketika alunan piano mengawali sebuah lirik lagu yang terasa asing baginya.


All love has died on earth

Lirik kedua yang terdengar membuatnya meninggalkan peraduannya. Mengabaikan rasa takut ketika ia melangkah ke ruang tengah.

The wind is weeping with sorrowful tears


My heart will never hope for a new spring again

My tears and my sorrows are all in vain

Ia membeku mendapati sosok lelaki duduk di depan piano sembari memainkan dan melantunkan sebuah lagu. Terdiam di ambang pintu ruang tengah, menatap sosok berjas hitam dengan rambut hitam acak-acakan dari tempatnya berdiri.

People are heartless, greedy and wicked... Love has died!

The world has come to its end, hope has ceased to have a meaning

Cities are being wiped out, shrapnel is making music

Meadows are coloured red with human blood

There are dead people on the streets everywhere

Tubuhnya bergetar tanpa ia tahu. Ia merasa setiap lirik menautkan sebuah emosi seperti pernah ia rasanya. Otaknya serasa berlomba-lomba dijejali ingatan yang terasa asing tapi seperti dé javu.
Tubuhnya limbung bersimpuh pada lantai ubin yang dingin.


I will say another quiet prayer:

People are sinners,

Lord, they make mistakes...

The world has ended!

Bersamaan bait terakhir air mata membuayarkan pandangnya.

Di depannya, sosok lelaki itu tengah membalas tatapannya dengan air muka sendu serta sorot mata yang hampa. Bibir pucat itu terlihat samar bergerak, seakan mengucapkan sebuah kalimat sebelum sosoknya meremang, dan hilang membaur pada angin yang berhembus.

Dan saat itu juga, tubuh Risa tergolek tak sadarkan diri, tetap dengan air mata yang mengambang di pelupuk matanya.

Ini adalah musim gugur,

dan daun meninggalkan semua perasaan cintanya

Semua cinta telah mati di bumi

Angin menangis dengan air mata penuh kesedihan

Hatiku tidak akan pernah berharap tuk musim semi lagi

Air mataku dan penderitaanku semua sia-sia

.

Pagi itu Risa bangun dengan rasa pening mengeksploitasi kepalanya. Reflek kedua belah tangannya ikut andil menekan rasa sakit yang terus mendera. Ia beringsut duduk, kedua permata birunya mengerling bingung akan tempatnya sekarang.

Kamar miliknya.

Secepat kilat kilasan tentang sosok lelaki berjas hitam menjejaki otaknya, sebelum akhirnya berganti dengan suara-suara dentingan piano yang membuat otaknya menangkap gambaran seorang gadis yang tengah menatap bersalah ke arah gadis yang lebih muda―Risa yakin itu dirinya 5 tahun yang lalu.

Cleeek

Risa menoleh ketika pintu kamarnya terbuka. Hingga muncul sosok pemuda yang begitu ia kenal.

“Risa, akhirnya kau sadarkan diri juga. Seharusnya aku menemanimu, tapi kau menolaknya.” Daniel menyodorkan segelas air putih yang langsung ditandaskan kakak perempuannya, “Lihat akibatnya, aku menemukanmu tadi pagi dengan kondisi pingsan di lantai,” pekiknya gusar.

“Sorry.”

Daniel menghela napas pasrah mendapati reaknya kakaknya, “Apa yang terjadi sampai kau pingsan, Risa?” tanyanya kemudian.

Gadis berumur awal 25 tahun itu menatap suasana pagi menjelang siang dari celah cendela kamar yang terbuka.
“Entah apa yang semalam kulihat, Daniel. Yang pasti aku melihat sosok lelaki memainkan piano di ruang tengah.” Risa mengambil napas dalam, “Awalnya ketika mendengar suara piano semalam aku takut, tapi ketika sebuah lagu yang tak aku kenal terdengar hanya kesedihan dan kebimbangan yang kurasakan.” Risa menutup bibirnya. Tak peduli roman muka Daniel yang meminta penjelasan lebih.

“Hanya itu yang kuingat sebelum kilasan-kilasan kejadian yang samar membuatku tak sadarkan diri. Aku merasa seperti ada batu menumpuk di kepalaku, dan rasanya berat,” tutur Risa pada akhirnya.

“Maksudmu kau membawa lelaki tak dikenal masuk ke rumah, Risa Charlotte?” tanya Daniel gusar.

Secepatnya ia menggeleng, “Dia bukan manusia, aku bisa merasakannya, Daniel,” jawab Risa melotot.

“Hahaha… Aku tak percaya dengan namanya hantu, Risa. Dan sepertinya kau butuh dokter psikolog lagi untuk meluruskan benang kusut di otakmu. Hahaha…”

“Aku tidak gila, Daniel!” seru Risa geram.

.

.

.



Awalnya ia begitu menyepelekan anjuran Daniel tentang dokter psikolog. Tapi nyatanya setelah seminggu ia dengan rela hati mendatangi seorang dokter kenalan sang adik.
Ia sudah tak sanggup memikul semua beban yang terasa membingungkan ini. Rasanya otak kecilnya terasa tak sanggup menampung semua ingatan yang masih terasa samar.

Tepat pagi tadi setelah mendapati dirinya terbangun di lantai ruang tengah tepat di sisi sebuah piano tua untuk ketiga kalinya, ia memantapkan hatinya―pergi ke dokter psikolog.

.

“Vincent Danique, panggil saya dengan nama yang anda suka, Nona Risa.”

Satu kesimpulan yang ia dapat ketika bertegur sapa pertama kali dengan dokter itu adalah muda dan ramah.

Ya. Risa merasa wajah dokter di depannya terasa tak asing lagi.
“Maaf dokter, apakah kita pernah bertemu?” Mendapati tatapan bingung sang dokter, ia kembali angkat suara, “Wajah dokter terasa familiar bagi saya,” lanjutnya.

Dokter Vincent mengulum senyum, “Mungkin kita pernah berpapasan ketika di jalan atau dimana. Itulah yang membuat anda merasa familiar dengan saya,” tuturnya kemudian.

“Mungkin.”

“Jadi apa yang bisa saya bantu, Nona?”

Risa menatap sang dokter, “Apakah dokter pernah merasakan sebuah lagu yang bisa membuat emosi dan sebuah ingatan yang asing muncul bersamaan dengan dentingan terakhir nada lagu itu?” tanya Risa.

Dokter Vincent menyernyit tak mengerti, “Maksud anda?”

“Saya merasakan itu, Dokter. Ingatan asing itu selalu muncul ketika nada akhir lagu yang entah tak pernah saya dengar,” tutur Irsa.

“Bisakah anda menyebutkan tiap lirik lagu itu?” Dokter Vincent mulai ambil suara, “Itupun kalau anda mengingatnya.”

“Tentu.”

.

.

.

.

Gadis berumur awal 20 tahun itu melangkah memasuki rumah mungil di depannya dengan kesal, pasalnya sang kakak tak muncul untuk menjemputnya.
Siap menumpahkan segala umpatan ia membuka pintu utama. Melangkah memasuki rumah.

It is autumn and the leaves are falling

All love has died on earth


Suara dentingan piano bersamaan dengan sebuah lagu terlantun membuatnya berhenti melangkah.

The wind is weeping with sorrowful tears

My heart will never hope for a new spring again

My tears and my sorrows are all in vain

People are heartless, greedy and wicked... Love has died!

Ia menyembunyikan tubuhnya di balik pintu ruang tengah. Bukan nada lagu yang membuatnya terdiam, tapi tingkah sang kakak yang terasa aneh menatap kekasihnya. Tatapan hampa yang menakutkan.

Ia bergidik, menatap dua anak manusia yang terlarut pada kegiatannya.

The world has come to its end, hope has ceased to have a meaning

Cities are being wiped out, shrapnel is making music

Meadows are coloured red with human blood

There are dead people on the streets everywhere

I will say another quiet prayer:


People are sinners,

Lord, they make mistakes...

The world has ended!

Bersamaan dengan nada terakhir ia memekik tertahan ketika melihat hujaman pisau tertuju pada kekasih sang kakak.

Ia ingin lari. Berseru minta tolong. Tapi kukuhan tangan sang kakak membuatnya tak bisa bergerak.
Ia pingsan sesudah merasakan tusukan sebuah jarum pada tengkuknya.

Dunia mulah berakhir, harapan telah berhenti untuk memiliki arti.

Dan musik berwarna merah dengan darah manusia.


.


“Risa bangun. Nona bangunlah.”

Dengan berat ia membuka mati dengan penuh ketakutan. Keringat dingin menetes pada setiap pori-pori tubuhnya. Ia meringkuk, mendapati sebuah fakta yang terlupakan.

“Nona, sadarlah. Ada apa denganmu, Nona?”
Dengan penuh khawatir Vincent menarik tubuh Risa yang ketakutan dalam pelukannya.

“Semua baik-baik saja, Nona. Ceritakan apa yang terjadi,” pinta Vincent lembut.

Risa menengadah, menatap teliti wajah di depannya.
“Kak Leon, kau masih hidup. Syukurlah.” Isak tangis Risa kembali terdengar.

“Aku Vincent, Nona Risa. Yang anda maksud saudara kembarku yang telah meninggal,” jelas Vincent.

“Kak Leon dibunuh kak Irsa. Itu tidak mungkin. Kak Irsa bukan pembunuh,” jerit histeris Risa kemudian sebelum kembali tak sadarkan diri.

Malam semakin larut, keokan gagak terdengar berterbangan di atap rumah. Dan di sinilah Vincent Danique, menemani sang pasien yang tengah tak sadarkan diri lagi.

Perlahan ia bangkit, melangkah keluar kamar Risa, berniat menelepon Daniel. Namun malangnya, sedari pagi tadi sambungan itu masih belum tercapai.

Memasuki ruang tengah, ia tak lagi bergerak. Bola mata onyx-nya menatap sendu sebuah lukisan lelaki yang begitu dikenalinya.

“Kumohon, Leon. Jangan kau siksa Risa dengan ketakutan itu. Tunjukanlah kenyataan tanpa harus menyakitinya. Risa gadis baik, Leon. Meskipun kakaknya yang telah membuatmu seperti ini,” bisik Vincent.

Semua itu terjadi begitu saja, ketika sebuah warna merah darah muncul di sudut kanvas, kemudian membentuk sebuah note lagu tanpa judul.

Vincent mengerjab tak percaya, sebelum akhirnya tersenyum melihat bayangan samar Leon yang tersenyum ke arahnya, sebelum akhirnya memudar hilang.

“Dokter Vincent.”

Vincent berbalik, mendapati Risa tengah menatap bingung ke arahnya.

“Mau dengar sebuah lagu, Nona Risa?” tanya Vincent.

Risa mengangguk, membuat Vincent menghampiri piano tua di ruang itu.

Ia tahu jawaban semua misteri ini.

Ting.

Nada awal terdengar ketika telunjuknya menekan tuts piano.
Inilah note kebalikan dari lagu yang membuat Risa mendapat ingatan yang terlupakan. Masterpiece dari saudara kembarnya, Leonard Danique. Sang master musik yang menciptakan dua lagu dari satu note.

Hanya nada tanpa lirik yang menyertai permainan piano Vincent.

“Setelah ini saya ingin anda menceritakan ingatan yang anda dapat, Nona Risa Charlotte.”

Awalnya Risa tercengang tak percaya mendapati dokter psikolognya mengetahui apa yang ia pikirkan. Namun tak urung ia mengangguk setuju.

Musik bisa menjadi perangkai ingatan yang baik, karena itu Risa mengerti.

Tamat

Cim Aku, Kau jadi Kekasihku

                                                 Cium Aku, Kau jadi Kekasihku

.

Alicia menggerutu untuk kesekian kalinya. Bibir tipis yang berpoles lipglos pink tak henti-hentinya mengutarakan ekspresi kesal yang tengah ia rasakan. Dengan mata memicing tak suka ia melirik benda bening di depannya―hadiah ulang tahun ke-17 dari sang kakek yang menurutnya tak bermodal. Hanya seekor ikan koi sebesar telapak tangan dalam toples besar dengan lilitan pita-pita warna pink. Padahal ia berharap sang kakek―yang katanya orang kaya―memberikan kalung mutiara yang selama ini ia inginkan, atau paling tidak Hp baru untuk mengganti Hp jadulnya yang sudah ketinggalan mode.
Tapi nasip kini tak memihak pada Alicia, hanya seekor ikan koi yang ia dapat. Mending kalau berekor-ekor bisa ia jual, nah ini cuma seekor, batinnya kembali bersungut-sungut ria.

“Kakek tak salah memberiku ikan jelek ini,” tanyanya meminta kepastian lagi.

Sang kakek kembali mengulum senyum, “Tidak kok, Kakek emang berniat memberikan hadiah ikan keberuntungan ini.” Senyum sang kakek semakin melebar.

Alicia kembali mendengus tak suka, dengan tak ikhlas ia tenteng toples berisi ikan koi itu menuju ke arah kamarnya.

“Terimakasih atas hadiah TERBAGUS ini, Kakek,” serunya sinis sebelum daun pintu itu tertutup.

Merasa sang cucu senang akan hadiahnya kakek tak henti-hentinya memamerkan senyuman di wajah tuanya, “Sama-sama, Sayang,” balasnya kemudian.

.

Malam sudah menguasai langit yang bermula biru, keokan burung gagak peliharaan sang kakek pun samar-samar terdengar dari kamar Alicia, gadis yang hari ini tengah berulangtahun.

Setiap orang pasti akan melewati hari istimewa dengan senyum lebar tercipta pada setiap bibir masing-masing. Tapi tidak untuk Alicia tahun ini, ia berpikir tahun inilah tahun kesialaannya.

Dengan cemberut ia menatap ikan koi miliknya yang tengah menatapnya juga―dengan dua bola mata yang besar. Alicia mendengus, segera menarik selimut sebelum terlempar ke arah toples ikan koi di meja samping tempat tidur.

“Ikan menyebalkan. Awas aja besok aku goreng kamu,” serunya kemudian sembari menghempaskan tubuh lelahnya ke tempat tidur. Memulai rutinitasnya menjelajah alam mimpi.

.


“Woy, bangun, Nona. Bangun nggak!”

Samar-samar sebuah suara mampir di pendengaran Alicia pada tengah malam. Angin yang terasa sejuk entah kenapa berasa dingin menusuk pori-porinya, membuat bulu kuduknya merinding seketika.

Masih enggan membuka mata dan menampakkan gerakan kecil apapun, ia kembali memasang telinga. Berusaha menangkap kejelasan dari suara yang tadi bergaung pada indra pendengarnya.

1 detik.

5 detik.

1 menit.

Dan seterusnya ia tak lagi mendengarkan suara apapun kecuali kesunyian malam. Berusaha mengusir sebersit rasa takut ia kembali memulai acara naungan mimpinya.

“Cepat bangun atau rumah ini kuledakkan!”

Alicia langsung bangkit dari tidurnya. Bola mata sebiru langit miliknya tampak melirik kesana-kemari dengan gelisah. Peluh dingin menetes dengan dramatis sebelum meresap pada baju tidur miliknya.

“Suara siapa itu?” Akhirnya lontaran pertanyaan yang terus-terusan menghantui otaknya meluncur sempurna meski gemetar.

Kedua matanya masih awas meneliti sudut-sudut kamarnya yang remang-remang karena lampu utama dimatikan―hanya lampu duduk kecil di sisi tempat tidur.

“Aku di sini, woy!”
Seruan itu kembali berkumandang. Nada suara yang berat dan penuh kekesalan. Suara laki-laki, dan yang lebih buruknya laki-laki itu ada di dalam kamarnya. Ia ketakutan sekarang.

“Apa maumu? Cepat pergi dari kamarku,” jerit Alicia histeris.

Tempat tidur itupun semakin berantakan dengan bantal guling terlempar di lantai.

“Gimana aku pergi kalau aku terus terkurung dalam selimut pengapmu ini, gadis aneh,”sungut suara itu.

“Apa maksudmu?” tanyanya tak mengerti.

“Cepat singkirkan selimut ini dan kau akan mengerti,” jawab suara itu tegas.

Alicia terdiam. Matanya liar mencari-cari dimana letak selimutnya.

“Di samping tempat tidurmu, Bodoh,” seru suara itu lagi.

Ketemu.

Alicia memicingkan matanya, menatap selimutnya yang terongok menutupi hadiah tak diinginkan dari sang kakek.
“Jangan coba-coba menipuku, nggak mungkin kamu ada di balik selimut itu,” tanyanya memastikan.

Terdengar suara itu menghela napas, “Cepat singkirkan, aku nggak mau mati gara-gara kurang udara,” pintanya lagi.

Alicia menjulurkan tangannya tapi ia urungkan ketika rasa takut kembali melandanya.

“Cepat, aku sudah nggak tahan,” paksa suara itu.

“Iya, iya. Dasar bawel.”

SREEET

Alicia membeku ditempat duduknya. Kelopak matanya pun tak mampu berkedip ketika menangkap ikan koi pemberian sang kakek tengah megap-megap mengambil udara.

“Tak bisakah kamu memperlakukanku dengan cara lebih baik, Nona.”

Bengong. Takjub, ketika ia mendapati seekor ikan tengah berucap kepadanya.

“Nggak usah memasang wajah bodoh seperti itu, Nona,” ucap ikan koi.

Bibir tipis itu menyeringai. Membuat sang ikan mundur seketika. “Dan hilangkan pikiran jelekmu untuk menjualku ke pameran, Nona. Aku bukan barang yang mau-maunya diplototin orang-orang,” jelas yang ikan gemetar.

Alicia menghembuskan napas, mendekatkan wajah ke tempat dimana ikan koi aneh itu berada.
Meneliti ikan yang tak ada bedanya dari ikan-ikan lainnya, tapi ia bisa bicara. Kenapa bisa?

“Sudah kubilang jangan mlototin aku seperti itu, Nona, kau membuatku malu,” ungkap sang ikan.

Tak urung Alicia menyernyit tak suka.
“Siapa kau, kenapa kau aneh?” tuntutnya pada sang ikan.

“Aku bukan aneh tapi ajaib, ralat perkataanmu, Nona, aku nggak suka,” kata ikan koi.

“Kau aneh karena bisa bicara, Ikan.”

“Ah, panggil aku Joe, Alicia. Bolehkan aku panggil begitu?” Alicia mengangguk, “Dan jangan panggil aku ikan karena aku nggak suka,” lanjutnya.

“Tapi kamu kan ikan,” sambar Alicia.

“Tidak. Aku manusia,” bela sang ikan.

“Kau, manusia?” Ikan koi itu mengangguk senang.

“Hahahahaha…” Tawa Alicia pun membahana di malam yang sunyi.

Ikan koi terlihat kesal, dengan sedikit kibasan sirip ekornya percikan itu tercipta menoreh karya pada muka Alica. Melihat sang gadis mengakhiri tawanya, ikan koi bergerak pelan, memposisikan tubuhnya menghadap gadis yang tengah mendelik ke arahnya.

“Sorry, aku nggak sengaja,” dustanya kemudian.

Cukup sudah, pikir Alicia. Ia tak mau lagi berurusan dengan ikan jelek itu lagi. Dengen sebal diberi pandangan sinis ke arah sang ikan sebelum tatapannya bertumpuan pada jam dinding yang menunjukan pukul 3 pagi.

“Menyebalkan,” ucapnya sembari menarik selimut untuk memulai tidurnya yang sempat terhambat.

Mengetahui Alicia akan memulai tidurnya, ikan koi langsung muncul ke permukaan air.
“Kamu nggak boleh tidur sebelum membantuku,” teriaknya.

“Aku ngantuk, Ikan. Aku mau tidur, jangan mengganggu lagi.”

“Kau harus membantuku, ayolah, Alicia. Aku nggak mau terjebak pada tubuh ikan seperti ini,” teriaknya lagi.

“Diamlah. Dan aku berharap semua ini hanya mimpi ketika bangun tidur nanti. Selama tidur,” kata Alicia menarik selimut menutupi tubuhnya.

“Kumohon bantu aku lepas dari kutukan ini, Alicia. Hanya kamu yang bisa mengerti apa yang aku ucapkan dari sekian orang yang aku temui.”

“…”

“Alicia, kumohon bantu aku.”

“…”

“Kata peri itu hanya kamu yang bisa melepaskanku dari kutukan, Alicia. Tolong aku!”

“…”

“Kumohon, tolong aku. Aku merindukan keluargaku yang bertahun-tahun nggak aku temui.”

Suara serak sang ikan koi semakin lirih terdengar. Terdengar begitu sedih dan penuh kerinduan.

Alicia menarik dengan gusar selimutnya, kembali mendekat ke tempat sang ikan.
“Oke, sekarang jelaskan padaku semua hal nggak masuk akal ini,” pinta Alicia.

Sang ikan menggerakkan siripnya senang, kemudia berenang mendekat ke arah Alicia.

“Kamu tahu dongeng Putri Tidur?” tanya ikan koi.

Alicia mengangguk. Tentu saja ia tahu kalau nyatanya sang kakek selalu merecoki acara sebelum tidurnya dengan dongeng-dongeng tak masuk akal.
“Jangan bilang kalau kamu jadi ikan gara-gara tertusuk jarum pemintal Nenek sihir. Hahahaha…” tebaknya kemudian.

“Itu memang benar!” seru sang ikan.

Alicia cengo di tempat, “Kau gila.”

“Itu benar, asal muasal Putri Tidur itu penyebab aku seperti ini, kecuali aku adalah seorang laki-laki dan aku terkena kutukan tepat di umur 7 tahun,” jelas ikan koi sedih.

“Dan yang nggak aku pikirkan ngapain kamu main jarum pemintal segala. Kau kan laki-laki,” cela Alicia.

“Dengar, ayahku memang langsung menutup pabrik jarumnya ketika kutukan itu ditunjukan padaku. Bahkan Ayah nggak pernah lalai menjagaku agar kutukan itu terjadi.”

“Tapi nyatanya kau malah jadi ikan jelek daripada Pangeran Tidur, sungguh menggelikan.” Alicia tersenyum sinis.

“Karena nggak terima aku belum terkena kutukannya, tepat diumur 7 tahun Nenek Sihir itu datang disaat aku tidur dan menusukku dengan jarum pemintal hingga jadi seperti ini,” tutup sang ikan.

“Ya…ya…ya…. Biarkan aku percaya dengan dongeng anehmu ini.”

“Kau harus percaya dan menolongku,” pinta sang ikan.

“Maksudmu kamu mau aku menciummu seperti dongeng Putri Tidur bodoh itu?” pancing Alicia.

“Tentu,” lontar ikan koi semangat.

“KAU GILA!” hardik Alicia, “Aku nggak mau mencium ikan jelek sepertimu,” lanjutnya marah.

“Kau harus mau, Alicia. Harus, dan tak mungkin menolak.”

“Nggak mau.”

“Ayolah, kalau kamu menciumku, kupastikan kamu akan jadi kekasihku. Karena nggak mungkin kalau istri karena kita belum cukup umur,” celoteh ikan koi yang membuat percikan amarah pada bola mata sang gadis.

“Tidak.”

“Kalau kamu menolak aku akan―”

“Akan apa, hah?” tantang Alicia. Semakin mendekat hingga wajahnya tepat di lubang toples.

“Akan ini…”

Cup

PRAAANG

Alicia membeku merasakan sensasi basah tepat di bibirnya.
Terlalu kaget ketika tubuhnya terhempas ke tempat tidur dan tatapannya seakan terkunci oleh tatapan lembut bola mata bercorak hazel yang tengah menatapnya lekat.

Wajah putih tanpa noda, rahang tegas dan rambut hitam berantakan yang semakin menambah nilai seni atas pahatan Tuhan pada makhluknya.

“Dia lebih tampan daripada Daniel Radcliffe,” batin Alicia termangu.


BRAAAK

Satu lagi suara benturan terdengar, membuat kedua makluk Tuhan yang sedari tadi terdiam menengok ke sumber suara.

“Kakek,” desis Alicia.

Di sana, di ambang pintu sang kakek tengah menggeram penuh amarah. Siap memangsa siapa saja yang menyakiti cucu kesayangannya.

“Apa yang kalian berdua lakukan, hah?” teriak sang kakek penuh amarah.

Alicia memandang sang kakek bingung, dengan perlahan diliriknya beban berat di atasnya. Seketika rona merah merambati wajah Alicia.

“Kyaaaaaa…” teriaknya kemudian mendapati sosok laki-laki di atasnya.

Memang sang ikan koi kita tidak jadi digoreng oleh Alicia, tapi mungkin akan dijadikan makanan gagak sang kakek.

Kudoakan kamu selamat sampai besok pagi, Joe.

Tamat

Puisi

Tersirat

Sebuah mimpi mengusik hatiku

Ketika wajahmu terulas di sana

Rindu kala bersamamu menguap begitu saja

Serpihan-serpihan rasa rindu kini mulai membelengguku

Membuat semua pertahanan egoku luluh lantak

Kau tau…

Itu semua karena kau

Seseorang yang tak pernah kuharapkan

Akan berkelana dalam nuansa cinta hatiku