Rabu, 21 Maret 2012

Cim Aku, Kau jadi Kekasihku

                                                 Cium Aku, Kau jadi Kekasihku

.

Alicia menggerutu untuk kesekian kalinya. Bibir tipis yang berpoles lipglos pink tak henti-hentinya mengutarakan ekspresi kesal yang tengah ia rasakan. Dengan mata memicing tak suka ia melirik benda bening di depannya―hadiah ulang tahun ke-17 dari sang kakek yang menurutnya tak bermodal. Hanya seekor ikan koi sebesar telapak tangan dalam toples besar dengan lilitan pita-pita warna pink. Padahal ia berharap sang kakek―yang katanya orang kaya―memberikan kalung mutiara yang selama ini ia inginkan, atau paling tidak Hp baru untuk mengganti Hp jadulnya yang sudah ketinggalan mode.
Tapi nasip kini tak memihak pada Alicia, hanya seekor ikan koi yang ia dapat. Mending kalau berekor-ekor bisa ia jual, nah ini cuma seekor, batinnya kembali bersungut-sungut ria.

“Kakek tak salah memberiku ikan jelek ini,” tanyanya meminta kepastian lagi.

Sang kakek kembali mengulum senyum, “Tidak kok, Kakek emang berniat memberikan hadiah ikan keberuntungan ini.” Senyum sang kakek semakin melebar.

Alicia kembali mendengus tak suka, dengan tak ikhlas ia tenteng toples berisi ikan koi itu menuju ke arah kamarnya.

“Terimakasih atas hadiah TERBAGUS ini, Kakek,” serunya sinis sebelum daun pintu itu tertutup.

Merasa sang cucu senang akan hadiahnya kakek tak henti-hentinya memamerkan senyuman di wajah tuanya, “Sama-sama, Sayang,” balasnya kemudian.

.

Malam sudah menguasai langit yang bermula biru, keokan burung gagak peliharaan sang kakek pun samar-samar terdengar dari kamar Alicia, gadis yang hari ini tengah berulangtahun.

Setiap orang pasti akan melewati hari istimewa dengan senyum lebar tercipta pada setiap bibir masing-masing. Tapi tidak untuk Alicia tahun ini, ia berpikir tahun inilah tahun kesialaannya.

Dengan cemberut ia menatap ikan koi miliknya yang tengah menatapnya juga―dengan dua bola mata yang besar. Alicia mendengus, segera menarik selimut sebelum terlempar ke arah toples ikan koi di meja samping tempat tidur.

“Ikan menyebalkan. Awas aja besok aku goreng kamu,” serunya kemudian sembari menghempaskan tubuh lelahnya ke tempat tidur. Memulai rutinitasnya menjelajah alam mimpi.

.


“Woy, bangun, Nona. Bangun nggak!”

Samar-samar sebuah suara mampir di pendengaran Alicia pada tengah malam. Angin yang terasa sejuk entah kenapa berasa dingin menusuk pori-porinya, membuat bulu kuduknya merinding seketika.

Masih enggan membuka mata dan menampakkan gerakan kecil apapun, ia kembali memasang telinga. Berusaha menangkap kejelasan dari suara yang tadi bergaung pada indra pendengarnya.

1 detik.

5 detik.

1 menit.

Dan seterusnya ia tak lagi mendengarkan suara apapun kecuali kesunyian malam. Berusaha mengusir sebersit rasa takut ia kembali memulai acara naungan mimpinya.

“Cepat bangun atau rumah ini kuledakkan!”

Alicia langsung bangkit dari tidurnya. Bola mata sebiru langit miliknya tampak melirik kesana-kemari dengan gelisah. Peluh dingin menetes dengan dramatis sebelum meresap pada baju tidur miliknya.

“Suara siapa itu?” Akhirnya lontaran pertanyaan yang terus-terusan menghantui otaknya meluncur sempurna meski gemetar.

Kedua matanya masih awas meneliti sudut-sudut kamarnya yang remang-remang karena lampu utama dimatikan―hanya lampu duduk kecil di sisi tempat tidur.

“Aku di sini, woy!”
Seruan itu kembali berkumandang. Nada suara yang berat dan penuh kekesalan. Suara laki-laki, dan yang lebih buruknya laki-laki itu ada di dalam kamarnya. Ia ketakutan sekarang.

“Apa maumu? Cepat pergi dari kamarku,” jerit Alicia histeris.

Tempat tidur itupun semakin berantakan dengan bantal guling terlempar di lantai.

“Gimana aku pergi kalau aku terus terkurung dalam selimut pengapmu ini, gadis aneh,”sungut suara itu.

“Apa maksudmu?” tanyanya tak mengerti.

“Cepat singkirkan selimut ini dan kau akan mengerti,” jawab suara itu tegas.

Alicia terdiam. Matanya liar mencari-cari dimana letak selimutnya.

“Di samping tempat tidurmu, Bodoh,” seru suara itu lagi.

Ketemu.

Alicia memicingkan matanya, menatap selimutnya yang terongok menutupi hadiah tak diinginkan dari sang kakek.
“Jangan coba-coba menipuku, nggak mungkin kamu ada di balik selimut itu,” tanyanya memastikan.

Terdengar suara itu menghela napas, “Cepat singkirkan, aku nggak mau mati gara-gara kurang udara,” pintanya lagi.

Alicia menjulurkan tangannya tapi ia urungkan ketika rasa takut kembali melandanya.

“Cepat, aku sudah nggak tahan,” paksa suara itu.

“Iya, iya. Dasar bawel.”

SREEET

Alicia membeku ditempat duduknya. Kelopak matanya pun tak mampu berkedip ketika menangkap ikan koi pemberian sang kakek tengah megap-megap mengambil udara.

“Tak bisakah kamu memperlakukanku dengan cara lebih baik, Nona.”

Bengong. Takjub, ketika ia mendapati seekor ikan tengah berucap kepadanya.

“Nggak usah memasang wajah bodoh seperti itu, Nona,” ucap ikan koi.

Bibir tipis itu menyeringai. Membuat sang ikan mundur seketika. “Dan hilangkan pikiran jelekmu untuk menjualku ke pameran, Nona. Aku bukan barang yang mau-maunya diplototin orang-orang,” jelas yang ikan gemetar.

Alicia menghembuskan napas, mendekatkan wajah ke tempat dimana ikan koi aneh itu berada.
Meneliti ikan yang tak ada bedanya dari ikan-ikan lainnya, tapi ia bisa bicara. Kenapa bisa?

“Sudah kubilang jangan mlototin aku seperti itu, Nona, kau membuatku malu,” ungkap sang ikan.

Tak urung Alicia menyernyit tak suka.
“Siapa kau, kenapa kau aneh?” tuntutnya pada sang ikan.

“Aku bukan aneh tapi ajaib, ralat perkataanmu, Nona, aku nggak suka,” kata ikan koi.

“Kau aneh karena bisa bicara, Ikan.”

“Ah, panggil aku Joe, Alicia. Bolehkan aku panggil begitu?” Alicia mengangguk, “Dan jangan panggil aku ikan karena aku nggak suka,” lanjutnya.

“Tapi kamu kan ikan,” sambar Alicia.

“Tidak. Aku manusia,” bela sang ikan.

“Kau, manusia?” Ikan koi itu mengangguk senang.

“Hahahahaha…” Tawa Alicia pun membahana di malam yang sunyi.

Ikan koi terlihat kesal, dengan sedikit kibasan sirip ekornya percikan itu tercipta menoreh karya pada muka Alica. Melihat sang gadis mengakhiri tawanya, ikan koi bergerak pelan, memposisikan tubuhnya menghadap gadis yang tengah mendelik ke arahnya.

“Sorry, aku nggak sengaja,” dustanya kemudian.

Cukup sudah, pikir Alicia. Ia tak mau lagi berurusan dengan ikan jelek itu lagi. Dengen sebal diberi pandangan sinis ke arah sang ikan sebelum tatapannya bertumpuan pada jam dinding yang menunjukan pukul 3 pagi.

“Menyebalkan,” ucapnya sembari menarik selimut untuk memulai tidurnya yang sempat terhambat.

Mengetahui Alicia akan memulai tidurnya, ikan koi langsung muncul ke permukaan air.
“Kamu nggak boleh tidur sebelum membantuku,” teriaknya.

“Aku ngantuk, Ikan. Aku mau tidur, jangan mengganggu lagi.”

“Kau harus membantuku, ayolah, Alicia. Aku nggak mau terjebak pada tubuh ikan seperti ini,” teriaknya lagi.

“Diamlah. Dan aku berharap semua ini hanya mimpi ketika bangun tidur nanti. Selama tidur,” kata Alicia menarik selimut menutupi tubuhnya.

“Kumohon bantu aku lepas dari kutukan ini, Alicia. Hanya kamu yang bisa mengerti apa yang aku ucapkan dari sekian orang yang aku temui.”

“…”

“Alicia, kumohon bantu aku.”

“…”

“Kata peri itu hanya kamu yang bisa melepaskanku dari kutukan, Alicia. Tolong aku!”

“…”

“Kumohon, tolong aku. Aku merindukan keluargaku yang bertahun-tahun nggak aku temui.”

Suara serak sang ikan koi semakin lirih terdengar. Terdengar begitu sedih dan penuh kerinduan.

Alicia menarik dengan gusar selimutnya, kembali mendekat ke tempat sang ikan.
“Oke, sekarang jelaskan padaku semua hal nggak masuk akal ini,” pinta Alicia.

Sang ikan menggerakkan siripnya senang, kemudia berenang mendekat ke arah Alicia.

“Kamu tahu dongeng Putri Tidur?” tanya ikan koi.

Alicia mengangguk. Tentu saja ia tahu kalau nyatanya sang kakek selalu merecoki acara sebelum tidurnya dengan dongeng-dongeng tak masuk akal.
“Jangan bilang kalau kamu jadi ikan gara-gara tertusuk jarum pemintal Nenek sihir. Hahahaha…” tebaknya kemudian.

“Itu memang benar!” seru sang ikan.

Alicia cengo di tempat, “Kau gila.”

“Itu benar, asal muasal Putri Tidur itu penyebab aku seperti ini, kecuali aku adalah seorang laki-laki dan aku terkena kutukan tepat di umur 7 tahun,” jelas ikan koi sedih.

“Dan yang nggak aku pikirkan ngapain kamu main jarum pemintal segala. Kau kan laki-laki,” cela Alicia.

“Dengar, ayahku memang langsung menutup pabrik jarumnya ketika kutukan itu ditunjukan padaku. Bahkan Ayah nggak pernah lalai menjagaku agar kutukan itu terjadi.”

“Tapi nyatanya kau malah jadi ikan jelek daripada Pangeran Tidur, sungguh menggelikan.” Alicia tersenyum sinis.

“Karena nggak terima aku belum terkena kutukannya, tepat diumur 7 tahun Nenek Sihir itu datang disaat aku tidur dan menusukku dengan jarum pemintal hingga jadi seperti ini,” tutup sang ikan.

“Ya…ya…ya…. Biarkan aku percaya dengan dongeng anehmu ini.”

“Kau harus percaya dan menolongku,” pinta sang ikan.

“Maksudmu kamu mau aku menciummu seperti dongeng Putri Tidur bodoh itu?” pancing Alicia.

“Tentu,” lontar ikan koi semangat.

“KAU GILA!” hardik Alicia, “Aku nggak mau mencium ikan jelek sepertimu,” lanjutnya marah.

“Kau harus mau, Alicia. Harus, dan tak mungkin menolak.”

“Nggak mau.”

“Ayolah, kalau kamu menciumku, kupastikan kamu akan jadi kekasihku. Karena nggak mungkin kalau istri karena kita belum cukup umur,” celoteh ikan koi yang membuat percikan amarah pada bola mata sang gadis.

“Tidak.”

“Kalau kamu menolak aku akan―”

“Akan apa, hah?” tantang Alicia. Semakin mendekat hingga wajahnya tepat di lubang toples.

“Akan ini…”

Cup

PRAAANG

Alicia membeku merasakan sensasi basah tepat di bibirnya.
Terlalu kaget ketika tubuhnya terhempas ke tempat tidur dan tatapannya seakan terkunci oleh tatapan lembut bola mata bercorak hazel yang tengah menatapnya lekat.

Wajah putih tanpa noda, rahang tegas dan rambut hitam berantakan yang semakin menambah nilai seni atas pahatan Tuhan pada makhluknya.

“Dia lebih tampan daripada Daniel Radcliffe,” batin Alicia termangu.


BRAAAK

Satu lagi suara benturan terdengar, membuat kedua makluk Tuhan yang sedari tadi terdiam menengok ke sumber suara.

“Kakek,” desis Alicia.

Di sana, di ambang pintu sang kakek tengah menggeram penuh amarah. Siap memangsa siapa saja yang menyakiti cucu kesayangannya.

“Apa yang kalian berdua lakukan, hah?” teriak sang kakek penuh amarah.

Alicia memandang sang kakek bingung, dengan perlahan diliriknya beban berat di atasnya. Seketika rona merah merambati wajah Alicia.

“Kyaaaaaa…” teriaknya kemudian mendapati sosok laki-laki di atasnya.

Memang sang ikan koi kita tidak jadi digoreng oleh Alicia, tapi mungkin akan dijadikan makanan gagak sang kakek.

Kudoakan kamu selamat sampai besok pagi, Joe.

Tamat

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar