Cium Aku, Kau jadi Kekasihku
.
Alicia
menggerutu untuk kesekian kalinya. Bibir tipis yang berpoles lipglos
pink tak henti-hentinya mengutarakan ekspresi kesal yang tengah ia
rasakan. Dengan mata memicing tak suka ia melirik benda bening di
depannya―hadiah ulang tahun ke-17 dari sang kakek yang menurutnya tak
bermodal. Hanya seekor ikan koi sebesar telapak tangan dalam toples
besar dengan lilitan pita-pita warna pink. Padahal ia berharap sang
kakek―yang katanya orang kaya―memberikan kalung mutiara yang selama ini
ia inginkan, atau paling tidak Hp baru untuk mengganti Hp jadulnya yang
sudah ketinggalan mode.
Tapi nasip kini tak memihak pada Alicia,
hanya seekor ikan koi yang ia dapat. Mending kalau berekor-ekor bisa ia
jual, nah ini cuma seekor, batinnya kembali bersungut-sungut ria.
“Kakek tak salah memberiku ikan jelek ini,” tanyanya meminta kepastian lagi.
Sang
kakek kembali mengulum senyum, “Tidak kok, Kakek emang berniat
memberikan hadiah ikan keberuntungan ini.” Senyum sang kakek semakin
melebar.
Alicia kembali mendengus tak suka, dengan tak ikhlas ia tenteng toples berisi ikan koi itu menuju ke arah kamarnya.
“Terimakasih atas hadiah TERBAGUS ini, Kakek,” serunya sinis sebelum daun pintu itu tertutup.
Merasa
sang cucu senang akan hadiahnya kakek tak henti-hentinya memamerkan
senyuman di wajah tuanya, “Sama-sama, Sayang,” balasnya kemudian.
.
Malam
sudah menguasai langit yang bermula biru, keokan burung gagak
peliharaan sang kakek pun samar-samar terdengar dari kamar Alicia,
gadis yang hari ini tengah berulangtahun.
Setiap orang
pasti akan melewati hari istimewa dengan senyum lebar tercipta pada
setiap bibir masing-masing. Tapi tidak untuk Alicia tahun ini, ia
berpikir tahun inilah tahun kesialaannya.
Dengan cemberut
ia menatap ikan koi miliknya yang tengah menatapnya juga―dengan dua
bola mata yang besar. Alicia mendengus, segera menarik selimut sebelum
terlempar ke arah toples ikan koi di meja samping tempat tidur.
“Ikan
menyebalkan. Awas aja besok aku goreng kamu,” serunya kemudian sembari
menghempaskan tubuh lelahnya ke tempat tidur. Memulai rutinitasnya
menjelajah alam mimpi.
.
“Woy, bangun, Nona. Bangun nggak!”
Samar-samar
sebuah suara mampir di pendengaran Alicia pada tengah malam. Angin yang
terasa sejuk entah kenapa berasa dingin menusuk pori-porinya, membuat
bulu kuduknya merinding seketika.
Masih enggan membuka
mata dan menampakkan gerakan kecil apapun, ia kembali memasang telinga.
Berusaha menangkap kejelasan dari suara yang tadi bergaung pada indra
pendengarnya.
1 detik.
5 detik.
1 menit.
Dan
seterusnya ia tak lagi mendengarkan suara apapun kecuali kesunyian
malam. Berusaha mengusir sebersit rasa takut ia kembali memulai acara
naungan mimpinya.
“Cepat bangun atau rumah ini kuledakkan!”
Alicia
langsung bangkit dari tidurnya. Bola mata sebiru langit miliknya tampak
melirik kesana-kemari dengan gelisah. Peluh dingin menetes dengan
dramatis sebelum meresap pada baju tidur miliknya.
“Suara siapa itu?” Akhirnya lontaran pertanyaan yang terus-terusan menghantui otaknya meluncur sempurna meski gemetar.
Kedua
matanya masih awas meneliti sudut-sudut kamarnya yang remang-remang
karena lampu utama dimatikan―hanya lampu duduk kecil di sisi tempat
tidur.
“Aku di sini, woy!”
Seruan itu kembali
berkumandang. Nada suara yang berat dan penuh kekesalan. Suara
laki-laki, dan yang lebih buruknya laki-laki itu ada di dalam kamarnya.
Ia ketakutan sekarang.
“Apa maumu? Cepat pergi dari kamarku,” jerit Alicia histeris.
Tempat tidur itupun semakin berantakan dengan bantal guling terlempar di lantai.
“Gimana aku pergi kalau aku terus terkurung dalam selimut pengapmu ini, gadis aneh,”sungut suara itu.
“Apa maksudmu?” tanyanya tak mengerti.
“Cepat singkirkan selimut ini dan kau akan mengerti,” jawab suara itu tegas.
Alicia terdiam. Matanya liar mencari-cari dimana letak selimutnya.
“Di samping tempat tidurmu, Bodoh,” seru suara itu lagi.
Ketemu.
Alicia memicingkan matanya, menatap selimutnya yang terongok menutupi hadiah tak diinginkan dari sang kakek.
“Jangan coba-coba menipuku, nggak mungkin kamu ada di balik selimut itu,” tanyanya memastikan.
Terdengar suara itu menghela napas, “Cepat singkirkan, aku nggak mau mati gara-gara kurang udara,” pintanya lagi.
Alicia menjulurkan tangannya tapi ia urungkan ketika rasa takut kembali melandanya.
“Cepat, aku sudah nggak tahan,” paksa suara itu.
“Iya, iya. Dasar bawel.”
SREEET
Alicia
membeku ditempat duduknya. Kelopak matanya pun tak mampu berkedip
ketika menangkap ikan koi pemberian sang kakek tengah megap-megap
mengambil udara.
“Tak bisakah kamu memperlakukanku dengan cara lebih baik, Nona.”
Bengong. Takjub, ketika ia mendapati seekor ikan tengah berucap kepadanya.
“Nggak usah memasang wajah bodoh seperti itu, Nona,” ucap ikan koi.
Bibir
tipis itu menyeringai. Membuat sang ikan mundur seketika. “Dan
hilangkan pikiran jelekmu untuk menjualku ke pameran, Nona. Aku bukan
barang yang mau-maunya diplototin orang-orang,” jelas yang ikan gemetar.
Alicia menghembuskan napas, mendekatkan wajah ke tempat dimana ikan koi aneh itu berada.
Meneliti ikan yang tak ada bedanya dari ikan-ikan lainnya, tapi ia bisa bicara. Kenapa bisa?
“Sudah kubilang jangan mlototin aku seperti itu, Nona, kau membuatku malu,” ungkap sang ikan.
Tak urung Alicia menyernyit tak suka.
“Siapa kau, kenapa kau aneh?” tuntutnya pada sang ikan.
“Aku bukan aneh tapi ajaib, ralat perkataanmu, Nona, aku nggak suka,” kata ikan koi.
“Kau aneh karena bisa bicara, Ikan.”
“Ah,
panggil aku Joe, Alicia. Bolehkan aku panggil begitu?” Alicia
mengangguk, “Dan jangan panggil aku ikan karena aku nggak suka,”
lanjutnya.
“Tapi kamu kan ikan,” sambar Alicia.
“Tidak. Aku manusia,” bela sang ikan.
“Kau, manusia?” Ikan koi itu mengangguk senang.
“Hahahahaha…” Tawa Alicia pun membahana di malam yang sunyi.
Ikan
koi terlihat kesal, dengan sedikit kibasan sirip ekornya percikan itu
tercipta menoreh karya pada muka Alica. Melihat sang gadis mengakhiri
tawanya, ikan koi bergerak pelan, memposisikan tubuhnya menghadap gadis
yang tengah mendelik ke arahnya.
“Sorry, aku nggak sengaja,” dustanya kemudian.
Cukup
sudah, pikir Alicia. Ia tak mau lagi berurusan dengan ikan jelek itu
lagi. Dengen sebal diberi pandangan sinis ke arah sang ikan sebelum
tatapannya bertumpuan pada jam dinding yang menunjukan pukul 3 pagi.
“Menyebalkan,” ucapnya sembari menarik selimut untuk memulai tidurnya yang sempat terhambat.
Mengetahui Alicia akan memulai tidurnya, ikan koi langsung muncul ke permukaan air.
“Kamu nggak boleh tidur sebelum membantuku,” teriaknya.
“Aku ngantuk, Ikan. Aku mau tidur, jangan mengganggu lagi.”
“Kau harus membantuku, ayolah, Alicia. Aku nggak mau terjebak pada tubuh ikan seperti ini,” teriaknya lagi.
“Diamlah.
Dan aku berharap semua ini hanya mimpi ketika bangun tidur nanti.
Selama tidur,” kata Alicia menarik selimut menutupi tubuhnya.
“Kumohon
bantu aku lepas dari kutukan ini, Alicia. Hanya kamu yang bisa mengerti
apa yang aku ucapkan dari sekian orang yang aku temui.”
“…”
“Alicia, kumohon bantu aku.”
“…”
“Kata peri itu hanya kamu yang bisa melepaskanku dari kutukan, Alicia. Tolong aku!”
“…”
“Kumohon, tolong aku. Aku merindukan keluargaku yang bertahun-tahun nggak aku temui.”
Suara serak sang ikan koi semakin lirih terdengar. Terdengar begitu sedih dan penuh kerinduan.
Alicia menarik dengan gusar selimutnya, kembali mendekat ke tempat sang ikan.
“Oke, sekarang jelaskan padaku semua hal nggak masuk akal ini,” pinta Alicia.
Sang ikan menggerakkan siripnya senang, kemudia berenang mendekat ke arah Alicia.
“Kamu tahu dongeng Putri Tidur?” tanya ikan koi.
Alicia
mengangguk. Tentu saja ia tahu kalau nyatanya sang kakek selalu
merecoki acara sebelum tidurnya dengan dongeng-dongeng tak masuk akal.
“Jangan bilang kalau kamu jadi ikan gara-gara tertusuk jarum pemintal Nenek sihir. Hahahaha…” tebaknya kemudian.
“Itu memang benar!” seru sang ikan.
Alicia cengo di tempat, “Kau gila.”
“Itu
benar, asal muasal Putri Tidur itu penyebab aku seperti ini, kecuali
aku adalah seorang laki-laki dan aku terkena kutukan tepat di umur 7
tahun,” jelas ikan koi sedih.
“Dan yang nggak aku pikirkan ngapain kamu main jarum pemintal segala. Kau kan laki-laki,” cela Alicia.
“Dengar,
ayahku memang langsung menutup pabrik jarumnya ketika kutukan itu
ditunjukan padaku. Bahkan Ayah nggak pernah lalai menjagaku agar
kutukan itu terjadi.”
“Tapi nyatanya kau malah jadi ikan jelek daripada Pangeran Tidur, sungguh menggelikan.” Alicia tersenyum sinis.
“Karena
nggak terima aku belum terkena kutukannya, tepat diumur 7 tahun Nenek
Sihir itu datang disaat aku tidur dan menusukku dengan jarum pemintal
hingga jadi seperti ini,” tutup sang ikan.
“Ya…ya…ya…. Biarkan aku percaya dengan dongeng anehmu ini.”
“Kau harus percaya dan menolongku,” pinta sang ikan.
“Maksudmu kamu mau aku menciummu seperti dongeng Putri Tidur bodoh itu?” pancing Alicia.
“Tentu,” lontar ikan koi semangat.
“KAU GILA!” hardik Alicia, “Aku nggak mau mencium ikan jelek sepertimu,” lanjutnya marah.
“Kau harus mau, Alicia. Harus, dan tak mungkin menolak.”
“Nggak mau.”
“Ayolah,
kalau kamu menciumku, kupastikan kamu akan jadi kekasihku. Karena nggak
mungkin kalau istri karena kita belum cukup umur,” celoteh ikan koi
yang membuat percikan amarah pada bola mata sang gadis.
“Tidak.”
“Kalau kamu menolak aku akan―”
“Akan apa, hah?” tantang Alicia. Semakin mendekat hingga wajahnya tepat di lubang toples.
“Akan ini…”
Cup
PRAAANG
Alicia membeku merasakan sensasi basah tepat di bibirnya.
Terlalu
kaget ketika tubuhnya terhempas ke tempat tidur dan tatapannya seakan
terkunci oleh tatapan lembut bola mata bercorak hazel yang tengah
menatapnya lekat.
Wajah putih tanpa noda, rahang tegas
dan rambut hitam berantakan yang semakin menambah nilai seni atas
pahatan Tuhan pada makhluknya.
“Dia lebih tampan daripada Daniel Radcliffe,” batin Alicia termangu.
BRAAAK
Satu lagi suara benturan terdengar, membuat kedua makluk Tuhan yang sedari tadi terdiam menengok ke sumber suara.
“Kakek,” desis Alicia.
Di sana, di ambang pintu sang kakek tengah menggeram penuh amarah. Siap memangsa siapa saja yang menyakiti cucu kesayangannya.
“Apa yang kalian berdua lakukan, hah?” teriak sang kakek penuh amarah.
Alicia
memandang sang kakek bingung, dengan perlahan diliriknya beban berat di
atasnya. Seketika rona merah merambati wajah Alicia.
“Kyaaaaaa…” teriaknya kemudian mendapati sosok laki-laki di atasnya.
Memang sang ikan koi kita tidak jadi digoreng oleh Alicia, tapi mungkin akan dijadikan makanan gagak sang kakek.
Kudoakan kamu selamat sampai besok pagi, Joe.
Tamat
Rabu, 21 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar