Senyum itu semakin lebar ketika satu tarik kuas bercet merah
tergores indah di sudut kanan bawah sebuah kanvas yang tak lagi putih.
Sesosok pemuda berambut hitam berantakan dengan pancaran mata sewarna
kelamnya malam tergambar pada kanvas miliknya. Sempurna, tatanan jas
hitam membalut tubuh tegapnya, begroud warna hitam samar semakin
membuat lukisan itu semakin hidup.
“Leonard Danique,” gumamnya kemudian sembari mengamati hasil mastespiece-nya.
Dengan
telaten gadis berumur 23 tahun itu membenahi perlengkapan lukisnya
sebelum sepasang lengan menginterupsi kegiatannya. Mendengus ia
membalikan badan, menghadap sang pelaku interupsi.
“Wow,
aku baru tahu kalau aku ternyata setampan ini,” ungkap sang pelaku
dengan nada menggoda. Sukses mendapat hadiah pijakan kaki dari sang
gadis.
“Hahaha… ini memang benar, Irsa, apapun yang kau
lukis memang selalu indah dan terkesan hidup. Huh, kuharap kau tidak
membuat aku cemburu dengan lukisan bergambar diriku ini,” kekeh sang
lelaki.
Sang gadis mendengus kesal akan tingkah
kekasihnya, dengan gusar diabaikan segala peralatan lukisnya yang
terabaikan. Melangkah menghampiri sebuah piano di ruang yang sama.
“Kau
bilang bakal menunjukan hasil lagu masterpiece-mu, Leon. Cepat
tunjukan, dan kuharap bukan lagi lagu gombal tentang cinta,” sindir
Irsa lengkap dengan senyum mengejeknya.
Leonard
Danique―sang model dalam lukisan―mendekat dengan senyum pesonanya,
mendudukkan diri pada bangku piano dengan percaya diri.
“Sebenarnya
aku tak ingin memainkan lagu ini untukmu, Irsa. Kau tahu, aura nada
pada lagu ini sering membuatku bergidik, dan aku takut terjadi―”
“Sudahlah cepat mainkan, aku harus menjemput adikku 5 menit lagi, Leon,” potong Irsa.
Jemari
yang semula hanya bertumpuan pada tubuh piano itupun terangkat, sekedar
mengupas apel merah untuk mengganjal rasa lapar yang tengah ia alami.
“Kuharap semuanya baik-baik saja, Sayang.” Leon menatap gadisnya untuk sesaat, “Aku mencintaimu selalu, Irsa Charlotte.”
Bersamaan
kata terakhirnya, jemari Leon memulai satu nada awal dari lagu
ciptaannya, berlanjut kedua bibirnya melafalkan tiap lirik lagu yang
tersimpan pada benaknya.
It is autumn and the leaves are falling
All love has died on earth
The wind is weeping with sorrowful tears
My heart will never hope for a new spring again
My tears and my sorrows are all in vain
People are heartless, greedy and wicked...
Love has died!
The world has come to its end, hope has ceased to have a meaning
Cities are being wiped out, shrapnel is making music
Meadows are coloured red with human blood
There are dead people on the streets everywhere
Kata
orang lagu bisa membuat sesorang membaur dalam setiap intonasi yang
tercipta, menerjemahkan arti pada setiap pikiran dan aliran darahnya.
Lagu juga membuat ia seakan dikuasai rasa yang menguap pada setiap
liriknya.
Dan itu yang tengah Irsa alami. Nada itu membuat
hatinya bimbang dan gelap, ia gelisah sekaligus dingin pada satu waktu.
Pikirannya terasa mengambil alih setiap gerak tubuhnya.
I will say another quiet prayer:
People are sinners,
Lord, they make mistakes...
The world has ended!
Bersamaan
dengan bait terakhir berkumandang, pisau buah itu bergerak tanpa bisa
ia kekang ke arah Leon. Tepat pada jantung dan kematiannya.
“Irsa, kau―”
Leon
tak mampu untuk sekedar mendesis ketika tusukan demi tusukan ia dapati.
Dengan sendu ia menatap penuh cinta pada bola mata biru Irsa yang
kosong tak lagi bersinar.
Leon menggeleng lemah. Ini
bukan Irsa-nya, hanya itulah keyakinan yang ia miliki ketika sebuah
tusukan membuatnya menemukan kematiaannya.
Hanya cipratan darah segar tercetak pada lantai ubin, dan―
―lukisan dirinya.
Darah itu seakan meresap pada kanvas bergambar dirinya, setelah kemudian hilang tak berbekas.
Lukisan itu hidup―
―sebagai sosok Leonard Danique yang baru.
Breaking News.
20 Agustus 1970.
Setelah
seminggu ditemukannya seorang musisi terkenal, Leonard Danique, yang
sampai sekarang tak ada rimba tentang siapa pelakunya. Dan berita tak
terduka muncul kemarin malam tentang pujaan hati sang musisi, Irsa
Charlotte yang ditemukan terbunuh pada acara kemping bersama adiknya.
Kini warga Paris telah berduka akan kematian dua jiwa seni mereka.
Leonard Danique, sang musisi terhebat abad ini, dan pelukis hebat
mereka―Irsa Charlotte.
Di Balik Lukisan
5 tahun kemudian.
Rumah
mungil itu hampir tak ada bedanya dengan rumah-rumah pada umumnya.
Hanya kesunyian yang membedakan dengan rumah di sisi kanan kirinya.
Tapi setidaknya lewat setengah jam lagi rumah yang kesepian itu akan
kedatangan sahabat yang tak terduga. Sahabat yang bisa membawa nuansa
segar pada setiap ubin yang tak pernah lagi dijejaki kaki-kaki manusia.
Krieeet
Gumpalan
debu langsung menyambut Risa ketika pertama kali menjejaki rumah tak
berpenghuni itu. Dengan gusar dikibas-kibaskan kedua tangannya
asal―berharap debu hilang dari titik jangkau bola mata birunya.
Tapi percuma, sekumpulan debu yang menghiasi tiap perabotan di ruang itu tak berubah―tetap setebal 5 menit yang lalu―dan…
Risa
bergidik ngeri mendapati seekor laba-laba sebesar jempol kaki merayap
di sudut samping tempatnya berdiri. Dengan gusar ia merogoh kantong
celana jeansnya. Mengambil alat komunikasi yang tersimpan disana.
“Bisakah
kau menjelaskan kenapa memberikan rumah jorok seperti ini, Daniel. Ya…
ya… ya… cepat datang kalau aku tidak mau melaporkanmu kepada Mom karena
tindakan cerobohmu ini.”
Klik.
Sambungan terputus.
Mengabaikan segala debu dan sarang laba-laba ia melangkah ke depan.
Sepatu berhak tinggi miliknya menggema setelah berhempasan dengan setiap lantai ubin yang ia jejaki.
“Tak buruk juga,” gumamnya senang.
.
.
“Benar kau tak mau ditemani, Risa?” Kembali Daniel mengulang kalimat yang sama sejak setengah jam yang lalu.
“Adikku Daniel, sudah kubilang aku tak apa sendiri. Dan terima kasih sudah membantuku bersih-bersih,” tegas Risa lagi.
“Aku mengkhawatirkanmu, Risa.” Daniel menatap sendu gadis di depannya.
“Terimakasih sudah mengkhawatirkanku, Hunny. Dan selamat malam.”
Risa
mendesah, menatap mobil Daniel yang semakin lenyap dari pandangannya.
Hari sudah gelap ketika ia menutup pintu rumahnya, melangkah ke dapur
untuk membuat makan malamnya sendiri.
.
.
.
Risa
Charlotte masih enggan mengalihkan tatapannya pada Televisi di
depannya. Bosan. Ternyata tinggal sendiri memang terasa membosankan,
meskipun awalnya ia begitu antusias membeli rumah atas hasil jerih
payahnya sebagai musisi―kata Mom dan Daniel itulah pekerjaannya dulu
sebelum ia lupa ingatan.
Malas ia beranjak dari duduk
nyamannya, melangkah menuju ke arah dimana kamarnya berada. Tapi urung
ketika sebuah lukisan menatap intens dengan kedua bola mata onyx-nya.
Kelopak mata miliknya mengerjab kagum. Perlahan disekanya debu yang
menempel pada permukaan kanvas.
“Menakjubkan,” gumamnya menikmati aura hidup yang terasa pada lukisan sosok laki-laki berjas hitam.
“Leonard Danique.” Sebuah tulisan tertoreh pada bagian kanan bawah kanvas.
“Aku baru sadar kalau kau ada di sini, Tuan Leon―itukan nama anda?”
Senyum Risa mengembang, jemarinya masih enggan menarik diri dari permukaan kanvas.
“Entah kenapa aku merasa mengenalmu, Tuan.” Risa menggeleng pelan, “Tapi itu tak mungkin, kan,” desisnya sebelum beranjak pergi.
.
.
.
.
Ting
It is autumn and the leaves are falling
Risa terjaga dari tidur nyenyaknya ketika alunan piano mengawali sebuah lirik lagu yang terasa asing baginya.
All love has died on earth
Lirik kedua yang terdengar membuatnya meninggalkan peraduannya. Mengabaikan rasa takut ketika ia melangkah ke ruang tengah.
The wind is weeping with sorrowful tears
My heart will never hope for a new spring again
My tears and my sorrows are all in vain
Ia
membeku mendapati sosok lelaki duduk di depan piano sembari memainkan
dan melantunkan sebuah lagu. Terdiam di ambang pintu ruang tengah,
menatap sosok berjas hitam dengan rambut hitam acak-acakan dari
tempatnya berdiri.
People are heartless, greedy and wicked... Love has died!
The world has come to its end, hope has ceased to have a meaning
Cities are being wiped out, shrapnel is making music
Meadows are coloured red with human blood
There are dead people on the streets everywhere
Tubuhnya
bergetar tanpa ia tahu. Ia merasa setiap lirik menautkan sebuah emosi
seperti pernah ia rasanya. Otaknya serasa berlomba-lomba dijejali
ingatan yang terasa asing tapi seperti dé javu.
Tubuhnya limbung bersimpuh pada lantai ubin yang dingin.
I will say another quiet prayer:
People are sinners,
Lord, they make mistakes...
The world has ended!
Bersamaan bait terakhir air mata membuayarkan pandangnya.
Di
depannya, sosok lelaki itu tengah membalas tatapannya dengan air muka
sendu serta sorot mata yang hampa. Bibir pucat itu terlihat samar
bergerak, seakan mengucapkan sebuah kalimat sebelum sosoknya meremang,
dan hilang membaur pada angin yang berhembus.
Dan saat itu juga, tubuh Risa tergolek tak sadarkan diri, tetap dengan air mata yang mengambang di pelupuk matanya.
Ini adalah musim gugur,
dan daun meninggalkan semua perasaan cintanya
Semua cinta telah mati di bumi
Angin menangis dengan air mata penuh kesedihan
Hatiku tidak akan pernah berharap tuk musim semi lagi
Air mataku dan penderitaanku semua sia-sia
.
Pagi
itu Risa bangun dengan rasa pening mengeksploitasi kepalanya. Reflek
kedua belah tangannya ikut andil menekan rasa sakit yang terus mendera.
Ia beringsut duduk, kedua permata birunya mengerling bingung akan
tempatnya sekarang.
Kamar miliknya.
Secepat
kilat kilasan tentang sosok lelaki berjas hitam menjejaki otaknya,
sebelum akhirnya berganti dengan suara-suara dentingan piano yang
membuat otaknya menangkap gambaran seorang gadis yang tengah menatap
bersalah ke arah gadis yang lebih muda―Risa yakin itu dirinya 5 tahun
yang lalu.
Cleeek
Risa menoleh ketika pintu kamarnya terbuka. Hingga muncul sosok pemuda yang begitu ia kenal.
“Risa,
akhirnya kau sadarkan diri juga. Seharusnya aku menemanimu, tapi kau
menolaknya.” Daniel menyodorkan segelas air putih yang langsung
ditandaskan kakak perempuannya, “Lihat akibatnya, aku menemukanmu tadi
pagi dengan kondisi pingsan di lantai,” pekiknya gusar.
“Sorry.”
Daniel menghela napas pasrah mendapati reaknya kakaknya, “Apa yang terjadi sampai kau pingsan, Risa?” tanyanya kemudian.
Gadis berumur awal 25 tahun itu menatap suasana pagi menjelang siang dari celah cendela kamar yang terbuka.
“Entah
apa yang semalam kulihat, Daniel. Yang pasti aku melihat sosok lelaki
memainkan piano di ruang tengah.” Risa mengambil napas dalam, “Awalnya
ketika mendengar suara piano semalam aku takut, tapi ketika sebuah lagu
yang tak aku kenal terdengar hanya kesedihan dan kebimbangan yang
kurasakan.” Risa menutup bibirnya. Tak peduli roman muka Daniel yang
meminta penjelasan lebih.
“Hanya itu yang kuingat sebelum
kilasan-kilasan kejadian yang samar membuatku tak sadarkan diri. Aku
merasa seperti ada batu menumpuk di kepalaku, dan rasanya berat,” tutur
Risa pada akhirnya.
“Maksudmu kau membawa lelaki tak dikenal masuk ke rumah, Risa Charlotte?” tanya Daniel gusar.
Secepatnya ia menggeleng, “Dia bukan manusia, aku bisa merasakannya, Daniel,” jawab Risa melotot.
“Hahaha…
Aku tak percaya dengan namanya hantu, Risa. Dan sepertinya kau butuh
dokter psikolog lagi untuk meluruskan benang kusut di otakmu. Hahaha…”
“Aku tidak gila, Daniel!” seru Risa geram.
.
.
.
Awalnya
ia begitu menyepelekan anjuran Daniel tentang dokter psikolog. Tapi
nyatanya setelah seminggu ia dengan rela hati mendatangi seorang dokter
kenalan sang adik.
Ia sudah tak sanggup memikul semua beban yang
terasa membingungkan ini. Rasanya otak kecilnya terasa tak sanggup
menampung semua ingatan yang masih terasa samar.
Tepat
pagi tadi setelah mendapati dirinya terbangun di lantai ruang tengah
tepat di sisi sebuah piano tua untuk ketiga kalinya, ia memantapkan
hatinya―pergi ke dokter psikolog.
.
“Vincent Danique, panggil saya dengan nama yang anda suka, Nona Risa.”
Satu kesimpulan yang ia dapat ketika bertegur sapa pertama kali dengan dokter itu adalah muda dan ramah.
Ya. Risa merasa wajah dokter di depannya terasa tak asing lagi.
“Maaf
dokter, apakah kita pernah bertemu?” Mendapati tatapan bingung sang
dokter, ia kembali angkat suara, “Wajah dokter terasa familiar bagi
saya,” lanjutnya.
Dokter Vincent mengulum senyum,
“Mungkin kita pernah berpapasan ketika di jalan atau dimana. Itulah
yang membuat anda merasa familiar dengan saya,” tuturnya kemudian.
“Mungkin.”
“Jadi apa yang bisa saya bantu, Nona?”
Risa
menatap sang dokter, “Apakah dokter pernah merasakan sebuah lagu yang
bisa membuat emosi dan sebuah ingatan yang asing muncul bersamaan
dengan dentingan terakhir nada lagu itu?” tanya Risa.
Dokter Vincent menyernyit tak mengerti, “Maksud anda?”
“Saya
merasakan itu, Dokter. Ingatan asing itu selalu muncul ketika nada
akhir lagu yang entah tak pernah saya dengar,” tutur Irsa.
“Bisakah anda menyebutkan tiap lirik lagu itu?” Dokter Vincent mulai ambil suara, “Itupun kalau anda mengingatnya.”
“Tentu.”
.
.
.
.
Gadis
berumur awal 20 tahun itu melangkah memasuki rumah mungil di depannya
dengan kesal, pasalnya sang kakak tak muncul untuk menjemputnya.
Siap menumpahkan segala umpatan ia membuka pintu utama. Melangkah memasuki rumah.
It is autumn and the leaves are falling
All love has died on earth
Suara dentingan piano bersamaan dengan sebuah lagu terlantun membuatnya berhenti melangkah.
The wind is weeping with sorrowful tears
My heart will never hope for a new spring again
My tears and my sorrows are all in vain
People are heartless, greedy and wicked... Love has died!
Ia
menyembunyikan tubuhnya di balik pintu ruang tengah. Bukan nada lagu
yang membuatnya terdiam, tapi tingkah sang kakak yang terasa aneh
menatap kekasihnya. Tatapan hampa yang menakutkan.
Ia bergidik, menatap dua anak manusia yang terlarut pada kegiatannya.
The world has come to its end, hope has ceased to have a meaning
Cities are being wiped out, shrapnel is making music
Meadows are coloured red with human blood
There are dead people on the streets everywhere
I will say another quiet prayer:
People are sinners,
Lord, they make mistakes...
The world has ended!
Bersamaan dengan nada terakhir ia memekik tertahan ketika melihat hujaman pisau tertuju pada kekasih sang kakak.
Ia ingin lari. Berseru minta tolong. Tapi kukuhan tangan sang kakak membuatnya tak bisa bergerak.
Ia pingsan sesudah merasakan tusukan sebuah jarum pada tengkuknya.
Dunia mulah berakhir, harapan telah berhenti untuk memiliki arti.
Dan musik berwarna merah dengan darah manusia.
.
“Risa bangun. Nona bangunlah.”
Dengan
berat ia membuka mati dengan penuh ketakutan. Keringat dingin menetes
pada setiap pori-pori tubuhnya. Ia meringkuk, mendapati sebuah fakta
yang terlupakan.
“Nona, sadarlah. Ada apa denganmu, Nona?”
Dengan penuh khawatir Vincent menarik tubuh Risa yang ketakutan dalam pelukannya.
“Semua baik-baik saja, Nona. Ceritakan apa yang terjadi,” pinta Vincent lembut.
Risa menengadah, menatap teliti wajah di depannya.
“Kak Leon, kau masih hidup. Syukurlah.” Isak tangis Risa kembali terdengar.
“Aku Vincent, Nona Risa. Yang anda maksud saudara kembarku yang telah meninggal,” jelas Vincent.
“Kak
Leon dibunuh kak Irsa. Itu tidak mungkin. Kak Irsa bukan pembunuh,”
jerit histeris Risa kemudian sebelum kembali tak sadarkan diri.
Malam
semakin larut, keokan gagak terdengar berterbangan di atap rumah. Dan
di sinilah Vincent Danique, menemani sang pasien yang tengah tak
sadarkan diri lagi.
Perlahan ia bangkit, melangkah keluar
kamar Risa, berniat menelepon Daniel. Namun malangnya, sedari pagi tadi
sambungan itu masih belum tercapai.
Memasuki ruang tengah, ia tak lagi bergerak. Bola mata onyx-nya menatap sendu sebuah lukisan lelaki yang begitu dikenalinya.
“Kumohon,
Leon. Jangan kau siksa Risa dengan ketakutan itu. Tunjukanlah kenyataan
tanpa harus menyakitinya. Risa gadis baik, Leon. Meskipun kakaknya yang
telah membuatmu seperti ini,” bisik Vincent.
Semua itu
terjadi begitu saja, ketika sebuah warna merah darah muncul di sudut
kanvas, kemudian membentuk sebuah note lagu tanpa judul.
Vincent
mengerjab tak percaya, sebelum akhirnya tersenyum melihat bayangan
samar Leon yang tersenyum ke arahnya, sebelum akhirnya memudar hilang.
“Dokter Vincent.”
Vincent berbalik, mendapati Risa tengah menatap bingung ke arahnya.
“Mau dengar sebuah lagu, Nona Risa?” tanya Vincent.
Risa mengangguk, membuat Vincent menghampiri piano tua di ruang itu.
Ia tahu jawaban semua misteri ini.
Ting.
Nada awal terdengar ketika telunjuknya menekan tuts piano.
Inilah
note kebalikan dari lagu yang membuat Risa mendapat ingatan yang
terlupakan. Masterpiece dari saudara kembarnya, Leonard Danique. Sang
master musik yang menciptakan dua lagu dari satu note.
Hanya nada tanpa lirik yang menyertai permainan piano Vincent.
“Setelah ini saya ingin anda menceritakan ingatan yang anda dapat, Nona Risa Charlotte.”
Awalnya
Risa tercengang tak percaya mendapati dokter psikolognya mengetahui apa
yang ia pikirkan. Namun tak urung ia mengangguk setuju.
Musik bisa menjadi perangkai ingatan yang baik, karena itu Risa mengerti.
Tamat
Rabu, 21 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar