Senin, 26 Agustus 2013

Egois chapter 1

Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
.
Egois
.
.
Haruno Ren. Semua penghuni Konoha mengetahui silsilah siapa dia sebenarnya. Bocah laki-laki berparas tampan yang terasingkan karena darah yang mengalir dalam tubuhnya. Buih yang dulu diciptakan oleh sang ayah menuai hasil dalam kehidupnya. Dicerca dan dimaki karena cabang keturunannya. Dia Haruno, namun nama Uchiha masih begitu kental mengusik ingatan para penduduk desa Konoha. Pemuda klan terakhir Uchiha yang telah berkhianat. Meskipun nama Uchiha Sasuke tak lagi terdengar, namun ingatan setiap kejahatan yang ia tertorehkan masih begitu lekat dalam ingatan penduduk desa. Kesan pertama yang buruk tetap saja menimbulkan kenangan yang buruk, meskipun perang dunia ninja telah berakhir 10 tahun lalu. Bagi mereka andil Uchiha Sasuke dalam kemenangan perang tersebut tak akan mampu menghapus segala kenyataan negatif yang sudah tertoreh lekat dalam setiap ingatan mereka.
.
.
Celoteh tawa samar itu terdengar begitu mendominasi kedai ramen di desa Konoha. Siang yang terik terusik dengan suara keributan yang diciptakan sang pahlawan desa, Uzumaki Naruto. Bibir yang semula tertutup rapat tersebut kembali terbuka bersamaan dengan bibir mangkuk ramen kelimanya yang mampu ia tandaskan hari ini. Kuah ramen terakhir kembali mengaliri ruang dalam kerongkongannya. Sang Uzumaki berdecak puas sebelum pandangannya terarah kembali pada bocah laki-laki bekisar umur 14 tahun, mantan murid didiknya.
"Ramen memang selalu indah di musin panas hari ini," ungkapnya senang sambil mengusap peluh di dahinya. Terkekeh pelan Naruto menatap penuh minat anak laki-laki yang sebelumnya teracuhkan, "Kau beneran tak maun nambah, Ren," tanyanya kemudian mendapati hanya satu mangkuk yang dihabiskan mantan anak didiknya.
Menggeleng pelan ia melihat tingkah mantan gurunya itu, "Sensei, masih saja terlihat rakus." Ren menyernyit tak suka, "Pantas saja ibu tak mau menjadi istri, Sensei," ujarnya lagi.
Tertohok. Uzumaki Naruto menatap horor pemuda tanggung tersebut. Pasalnya ucapan Ren kembali mengusik ingatan Naruto pasca lamaran beberapa minggu lalu yang sukses membuatnya murung berhari-hari. Entah untuk keberapa kali kalimat bermakna penolakan dari bibir cinta pertamanya tersebut masih saja membuat hari-harinya mendung.
Terkekeh, berusaha mengobati kenyataan pahit yang terlontar dari pernyataan Ren, Uzumaki Naruto mengajak rambut raven pemuda tanggung tersebut. Meletakkan uang mie ramen yang telah mereka makan Naruto beranjak dari duduknya, membuat Ren mengikutinya.
"Kau tahu, Ren, ibumu memang keras kepala." Naruto tersenyum ke arahnya, "Berkali-kali aku mencoba merobohkan keyakinannya, tapi kekecewaan hasilnya. Ya, seharusnya aku sudah tahu akan berakhir bagaimana, namun tetap saja tak bisa melunturkan niat untuk mencobanya lagi dan lagi. Hehehehe..." cengirnya lagi.
Haruno Ren terdiam sejenak. Bocah laki-laki yang baru saja naik tingkat Jounin tersebut hanya mengendikkan bahu cuek pada akhirnya. Peraduan langkah keduanya pun tak mampu membendung kensunyian di antara mereka.
.
.
"Uzumaki-san." Langkah mereka berhenti bersamaan dengan ninja Anbu yang muncul di depan Naruto. Turut menyernyit penasaran Ren mendapati raut yang ditampilkan mantan gurunya tersebut setelah mendapatkan bisikan dari sang Anbu. Bahkan ketika sorot mata merendahkan bertumpuan dengan bola mata hitamnya ia hanya mampu bergeming ketika sang Anbu tersebut menghilang dari pandangannya.
"Ren, sepertinya aku harus segera pamit, dan selamat atas kenaikan pangkatmu menjadi Jounin," kata Naruto sebelum melocat pergi dari sisi Ren. Dan kembali lagi ia berteman sepi menyusuri jalan menuju rumahnya. Berharap senyuman dari sang ibu mampu membut harinya kembali indah.
.
.
"Aku pulang."
Pintu itu terbuka bersamaan dengan tubuhnya yang memasuki rumah kediamannya. Sepi ketika tak mendapati celoteh sang ibu menyambut kedatangannya pasca ujian Jounin beberapa jam yang lalu. Langkahnya yang terkesan tergesa-gesa tersebut mengusik kesunyian yang semula ia tangkap.
Ren tersenyum tipis mendapati meja makan yang tak lagi kosong. Timbul penyesalan menerima ajakan mantan gurunya untuk menemaninya makan siang di kedai ramen kalau tahu ibunya telah menyiapkan makanan kesukaannya di rumah. Pasti ibunya telah mendengar keberhasilannya dalam ujian terakhir menjadi Jounin. Mengambil duduk ia meletakkan tudung saji yang semula ia pegang. Menyamankan diri untuk menikmati sajian yang dibuatkan sang ibu.
"Enak," ungkapnya kemudian.
.
.
.
Dua insan yang terpisahkan oleh keadaan akhirnya berjumpa kembali. Saling meluapkan kerinduan barang sejenak dalam sebuah tatapan singkat kala bola mata beda warna tersebut bersinggungan. Beberapa detik sebelum salah satu mengalihkan pandangan cepat-cepat.
Ruangan tempat mereka berada terasa sunyi. Hanya tatapan mata nyalang yang terlontar dari beberapa penghuni di sana yang terarah pada laki-laki yang terduduk dalam kursi pengadilannya. Dialah Uchiha Sasuke. Sang Uchiha terakhir tersebut bukan kembali ke desanya dengan sukarela, namun kukuhan dari rantai penghisap cakra tersebut cukup menguatkan keadaannya.
Senju Tsunade tak tahu harus mengambil keputusan apa ketika kenyataan ia telah menangkap missing nin tersebut. Memijat pelipisnya kembali ketika bola mata madunya menangkap raut tak mengenakan yang tersurat dalam setiap mimik tetua desa. Bahkan di sampingnya Uzumaki Naruto dan Haruno Sakura tak mampu ambil suara ketika sebuah keputusan dengan paksa ia harus ambil.
Uchiha Sasuke. Lelaki itu dalam keadaan seperti apapun tak akan menghapuskan hukuman yang akan ia terima.
Mati atau mati.
Dua pilihan yang bermakna sama menghantui masa depan lelaki klan Uchiha tersebut.
.
.
.
Clek.
Haruno Ren terkesiap dalam lamunannya ketika suara decitan pintu tertangkap indra pendengarannya. Ia beranjak dari sofa yang ditempatinya, sekedar menyambut seseorang yang telah lama ia tunggu.
"Ibu dari mana?" Sebuah pertanyaan bermakna menuntut tersebut begitu saja lolos dari bibirnya.
Untuk kesekian kali Ren mendapati roman tak mengenakkan yang tercipta dari wajah ibunya sebelum tertoreh senyum penutup ke arahnya.
"Hokage-sama tadi menaggil Ibu." Haruno Sakura memeluk sejenak putranya yang semakin beranjak dewasa, "Dan selamat atas kelulusanmu menjadi Jounin, Ren, Ibu sangat bangga," tuturnya lagi.
Tersenyum tipis Ren memeluk Sakura, "Terima kasih, Ibu."
.
.
.
Setelah hari itu semua terasa berbeda. Raut wajah tak suka yang dulu tersamarkan kini menguak untuk terlontar ke arahnya. Bisik-bisik yang semula selalu ia abaikan entah mengapa kini menimbulkan sebersit raut penasaran untuknya.
Bukan. Bukan nada cacian yang terlontar ke arahnya yang ia permasalahkan. Hanya saja kedua pendengaran Ren terasa sensitif ketika sebuah nama familiar tak sengaja tercuri dengar olehnya.
Uchiha Sasuke. Ren tahu, nama itulah yang menjadi topik bisik-bisik rekan seangkatannya.
.
.
.
Petang itu Ren berdiri di sana. Menyandar pada tembok kokoh Rumah Sakit tempat ibunya berada. Menanti kemunculan sosok perempuan yang hampir 14 tahun begitu akrab dengan kehidupannya. Namun, ketika petang semakin menggelap sosok yang ia tunggu tak kunjuk menampakkan diri. Sekedar melepas rasa kekhawatirannya ia menengok lorong dimana ibunya sering muncul dengan senyum lebar setiap ia datang menjemput. Tak ada. Lorong itu terlihat kosong dalam jangkauan pandangannya.
"Ibu..."
"Ren." Tersentak kaget Ren menatap tak suka seseorang yang berani mengusiknya. Alis hitamnya menyernyit mendapati Uzumaki Naruto tengah memamerkan sebuah senyum kepadanya.
"Bisakah kita bicara sebentar, Ren," pinta untuknya.
Mengangguk sekilas ia menapaki langkah mengikuti Naruto.
.
.
"Ada apa, Sensei?" Akhirnya Ren ambil suara, pasalnya mantan gurunya tersebut tak kunjung mengucapkan kalimatnya.
Tersenyum lagi Naruto menangkup pundak remaja tanggung tersebut, "Malam ini. Bisakah aku meminta bantuanmu untuk menyerahkan sebuah dokumen ke Sunagakure?" Mendapati raut tak mengenakan yang ditampilkan lawan bicaranya ia kembali bersua, "Sebenarnya aku ingin mengantarkan sendiri, namun nenek Tsunade malah memintaku mencari pengganti karena suatu urusan. Maukah kau membantuku, Ren?" Jemari Naruto menggenggam penuh harapan jemari bocah di depannya, " Kumohon, hanya kau yang kupercaya, Ren," pintanya memelas.
Dan sebuah anggukan lagi-lagi membuat senyum sang Uzumaki melebar.
.
.
.
.
Malam itu dengan sebuah pesan singkat kepada sang ibu yang dititipkan kepada Naruto, Ren pergi mengemban misinya. Sendiri, bayangan hitam tersebut meloncati atap-atap rumah penduduk menjangkau gerbang Konoha. Perjalanan Konoha-Suna akan memakan waktu tiga hari. Dan entah mengapa Ren ingin segera menyelesaikan misi ini. Perasaannya terasa tidak mengenakan. Mungkin karena ia pergi tanpa pamit dengan sang ibu, sangkalnya.
.
.
.
Hari telah beranjak sore ketika Ren berhenti sejenak di perbatasan Konoha-Suna. Membuka bungkusan makanan yang sudah ia siapkan, ia kembali mengisi tenaganya yang tersortir karena paksaan perjalanan yang tak kenal berhenti. Menyenderkan tubuh letihnya ia menatap hamparan pasir yang sebentar lagi akan ia lalui. Mata hitam miliknya terpejam sejenak karena semilir angin musim panas yang terasa segar menerpa tubuh berpeluhnya. Rasanya nyaman.
Sreeg
Sreggg
Insting waspada milik Ren langsung bangkit ketika suara langkah beberapa orang ia rasakan keberadaannya. Mata hitamnya berubah merah. Sharingan kebanggaan Uchiha yang mengalir pada darahnya ia tampakkan. Menelusup dalam rimbunan semak mata awasnya meneliti gerak-gerik beberapa orang yang ia yakini bandit daerah perbatasan.
"Kau tak tahu berita yang marak terdengar, Kidou?" Laki-laki berbadan tambun tersebut berkata antusias pada dua orang kawannya.
"Kalau bukan tentang uang aku tak peduli, Kuro," ungkap sesorang di antara dua bertubuh kurus tersebut.
Laki-laki bertubuh tambun tersebut terkekeh pelan, "Tapi ini tentang orang dari klan terakhir pemilik mata Sharingan hebat itu, Kidou," tandasnya lagi.
Mata Sharingan milik Haruno Ren menegang ketika kemampuan mata miliknya menjadi topik yang tengah diperbincangkan para bandit tersebut.
"Maksudmu Uchiha Sasuke yang kemungkinan akan dijatuhi hukuman mati oleh Kono..."
Belum sempat kalimat tersebut selesai terucap gumpulan asap tersebut muncul, hingga akhirnya menghilang tersapu angin menghilangkan sosok pemuda tanggung bermarga Haruno tersebut.
.
.
.
"Sial. Jadi mereka mengusirku sementara karena ini," geram Ren. Dipacunya langkah itu menembus gelapnya hutan yang telah ia terjang.
.
.
.
.
Uchiha Sasuke. Lelaki yang eksis karena penghianatannya kepada Konoha dengan mengikuti Orochimaru dan bergabung dengan Akatsuki tersebut mendekam dalam selnya yang pengap dan gelap. Terpejam dalam tidurnya ia merasakan sebuah cakra familiar yang berlari ke tempatnya sekarang. Merasa tak ada gunanya, ia tak mau ambil pusing. Menyamankan posisi tidurnya, ia kembali menaungi kenangan indah di masa lalunya.
Haruno Sakura. Meskipun hampir 10 tahun tak bertemu, perempuan yang dulu begitu istimewa di hatinya tersebut tak banyak berubah. Di usia mereka yang lebih dari seperempat abad, perempuan Haruno tersebut masih saja mengusik hatinya yang berusaha ia tutup rapat-rapat. Baginya kenangan tersebut semakin ia ingat akan menjadi cambuk untuknya.
Cleekk
Sasuke tak ambil pusing ketika pintu sel tempatnya berada terbuka. Yang ia tahu hukumannya akan terlaksana besok. Mati. Sasuke muak dengan tindakan terakhirnya menyangkut desa ini. Seberapa usahanya untuk membantu Konoha di waktu perang, seperti tak ada gunanya. Di mata mereka kejahatannyalah yang harus segera diadili. Memusnahkannya. Kalau ia ingat pertemuang siang tadi, ia terasa semakin muak.
"Uchiha Sasuke."
Panggilan tersebut mengalun mengganggu pendengarannya. Ia bergeming dalam posisi tidurnya, enggan mengindahkan sosok lain dalam sel pengap tersebut.
"Kita harus cepat keluar dari desa ini, Uchiha Sasuke," ucap orang tersebut.
Uchiha Sasuke tertawa getir mendengarnya. Beranjak bangun ia memamerkan Sharingan yang melagenda tersebut. Mangekyou Sharingan. Untuk sesaat pemuda di depannya terkejut dalam diamnya.
"Ayah..."
.
.
.
Tepat pukul setengah empat pagi cakra yang begitu ia kenali samar terasa olehnya. Ia bangun dari tidurnya yang tak pernah merasa nyaman. Menghapus jejak air mata yang tak pernah mengering di sudut matanya ia melangkah keluar kamar. Sekedar untuk memastikan kalau cakra yang samar tersebut berasal dari putranya. Ren.
.
.
Duduk diam di meja makan ketika ia dapati keberadaan putranya. Ragu ia mendekat ke arah Ren. Sakura merasakan cakra milik putranya yang selalu tenang tersebut terasa menahan suatu amarah. Air mata tersebut lagi-lagi tak mampu ia bendung ketika mengetahui sebab karenanya. Ren telah tahu apa yang telah terjadi.
"Ren..." Bibir pucat miliknya bergetar menahan isak tangis yang berusaha ia redam.
"Ibu... Ibuu tahu ini akan sulit..." Sakura tak mampu meneruskan kalimatnya ketika tiga tomoe milik putranya berputar cepat. Dalam sekejab pandangannya mengabur, meskipun samar ia mendapati raut akan penyesalan tercurah dari putranya.
"Maafkan anakmu ini yang begitu egois, Ibu."

Link Story: Egois chapter 1

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar