Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
.
Egois
.
.
Haruno
Ren. Semua penghuni Konoha mengetahui silsilah siapa dia sebenarnya.
Bocah laki-laki berparas tampan yang terasingkan karena darah yang
mengalir dalam tubuhnya. Buih yang dulu diciptakan oleh sang ayah menuai
hasil dalam kehidupnya. Dicerca dan dimaki karena cabang keturunannya.
Dia Haruno, namun nama Uchiha masih begitu kental mengusik ingatan para
penduduk desa Konoha. Pemuda klan terakhir Uchiha yang telah berkhianat.
Meskipun nama Uchiha Sasuke tak lagi terdengar, namun ingatan setiap
kejahatan yang ia tertorehkan masih begitu lekat dalam ingatan penduduk
desa. Kesan pertama yang buruk tetap saja menimbulkan kenangan yang
buruk, meskipun perang dunia ninja telah berakhir 10 tahun lalu. Bagi
mereka andil Uchiha Sasuke dalam kemenangan perang tersebut tak akan
mampu menghapus segala kenyataan negatif yang sudah tertoreh lekat dalam
setiap ingatan mereka.
.
.
Celoteh tawa samar itu
terdengar begitu mendominasi kedai ramen di desa Konoha. Siang yang
terik terusik dengan suara keributan yang diciptakan sang pahlawan desa,
Uzumaki Naruto. Bibir yang semula tertutup rapat tersebut kembali
terbuka bersamaan dengan bibir mangkuk ramen kelimanya yang mampu ia
tandaskan hari ini. Kuah ramen terakhir kembali mengaliri ruang dalam
kerongkongannya. Sang Uzumaki berdecak puas sebelum pandangannya terarah
kembali pada bocah laki-laki bekisar umur 14 tahun, mantan murid
didiknya.
"Ramen memang selalu indah di musin panas hari ini,"
ungkapnya senang sambil mengusap peluh di dahinya. Terkekeh pelan Naruto
menatap penuh minat anak laki-laki yang sebelumnya teracuhkan, "Kau
beneran tak maun nambah, Ren," tanyanya kemudian mendapati hanya satu
mangkuk yang dihabiskan mantan anak didiknya.
Menggeleng pelan ia
melihat tingkah mantan gurunya itu, "Sensei, masih saja terlihat rakus."
Ren menyernyit tak suka, "Pantas saja ibu tak mau menjadi istri,
Sensei," ujarnya lagi.
Tertohok. Uzumaki Naruto menatap horor
pemuda tanggung tersebut. Pasalnya ucapan Ren kembali mengusik ingatan
Naruto pasca lamaran beberapa minggu lalu yang sukses membuatnya murung
berhari-hari. Entah untuk keberapa kali kalimat bermakna penolakan dari
bibir cinta pertamanya tersebut masih saja membuat hari-harinya mendung.
Terkekeh,
berusaha mengobati kenyataan pahit yang terlontar dari pernyataan Ren,
Uzumaki Naruto mengajak rambut raven pemuda tanggung tersebut.
Meletakkan uang mie ramen yang telah mereka makan Naruto beranjak dari
duduknya, membuat Ren mengikutinya.
"Kau tahu, Ren, ibumu memang
keras kepala." Naruto tersenyum ke arahnya, "Berkali-kali aku mencoba
merobohkan keyakinannya, tapi kekecewaan hasilnya. Ya, seharusnya aku
sudah tahu akan berakhir bagaimana, namun tetap saja tak bisa
melunturkan niat untuk mencobanya lagi dan lagi. Hehehehe..." cengirnya
lagi.
Haruno Ren terdiam sejenak. Bocah laki-laki yang baru saja naik tingkat
Jounin
tersebut hanya mengendikkan bahu cuek pada akhirnya. Peraduan langkah
keduanya pun tak mampu membendung kensunyian di antara mereka.
.
.
"Uzumaki-
san." Langkah mereka berhenti bersamaan dengan ninja
Anbu yang
muncul di depan Naruto. Turut menyernyit penasaran Ren mendapati raut
yang ditampilkan mantan gurunya tersebut setelah mendapatkan bisikan
dari sang
Anbu. Bahkan ketika sorot mata merendahkan bertumpuan dengan bola mata hitamnya ia hanya mampu bergeming ketika sang
Anbu tersebut menghilang dari pandangannya.
"Ren, sepertinya aku harus segera pamit, dan selamat atas kenaikan pangkatmu menjadi
Jounin," kata
Naruto sebelum melocat pergi dari sisi Ren. Dan kembali lagi ia
berteman sepi menyusuri jalan menuju rumahnya. Berharap senyuman dari
sang ibu mampu membut harinya kembali indah.
.
.
"Aku pulang."
Pintu
itu terbuka bersamaan dengan tubuhnya yang memasuki rumah kediamannya.
Sepi ketika tak mendapati celoteh sang ibu menyambut kedatangannya pasca
ujian
Jounin beberapa jam yang lalu. Langkahnya yang terkesan tergesa-gesa tersebut mengusik kesunyian yang semula ia tangkap.
Ren
tersenyum tipis mendapati meja makan yang tak lagi kosong. Timbul
penyesalan menerima ajakan mantan gurunya untuk menemaninya makan siang
di kedai ramen kalau tahu ibunya telah menyiapkan makanan kesukaannya di
rumah. Pasti ibunya telah mendengar keberhasilannya dalam ujian
terakhir menjadi
Jounin. Mengambil duduk ia meletakkan tudung
saji yang semula ia pegang. Menyamankan diri untuk menikmati sajian yang
dibuatkan sang ibu.
"Enak," ungkapnya kemudian.
.
.
.
Dua
insan yang terpisahkan oleh keadaan akhirnya berjumpa kembali. Saling
meluapkan kerinduan barang sejenak dalam sebuah tatapan singkat kala
bola mata beda warna tersebut bersinggungan. Beberapa detik sebelum
salah satu mengalihkan pandangan cepat-cepat.
Ruangan tempat
mereka berada terasa sunyi. Hanya tatapan mata nyalang yang terlontar
dari beberapa penghuni di sana yang terarah pada laki-laki yang terduduk
dalam kursi pengadilannya. Dialah Uchiha Sasuke. Sang Uchiha terakhir
tersebut bukan kembali ke desanya dengan sukarela, namun kukuhan dari
rantai penghisap cakra tersebut cukup menguatkan keadaannya.
Senju Tsunade tak tahu harus mengambil keputusan apa ketika kenyataan ia telah menangkap
missing nin tersebut.
Memijat pelipisnya kembali ketika bola mata madunya menangkap raut tak
mengenakan yang tersurat dalam setiap mimik tetua desa. Bahkan di
sampingnya Uzumaki Naruto dan Haruno Sakura tak mampu ambil suara ketika
sebuah keputusan dengan paksa ia harus ambil.
Uchiha Sasuke. Lelaki itu dalam keadaan seperti apapun tak akan menghapuskan hukuman yang akan ia terima.
Mati atau mati.
Dua pilihan yang bermakna sama menghantui masa depan lelaki klan Uchiha tersebut.
.
.
.
Clek.
Haruno
Ren terkesiap dalam lamunannya ketika suara decitan pintu tertangkap
indra pendengarannya. Ia beranjak dari sofa yang ditempatinya, sekedar
menyambut seseorang yang telah lama ia tunggu.
"Ibu dari mana?" Sebuah pertanyaan bermakna menuntut tersebut begitu saja lolos dari bibirnya.
Untuk
kesekian kali Ren mendapati roman tak mengenakkan yang tercipta dari
wajah ibunya sebelum tertoreh senyum penutup ke arahnya.
"Hokage-
sama tadi menaggil Ibu." Haruno Sakura memeluk sejenak putranya yang semakin beranjak dewasa, "Dan selamat atas kelulusanmu menjadi
Jounin, Ren, Ibu sangat bangga," tuturnya lagi.
Tersenyum tipis Ren memeluk Sakura, "Terima kasih, Ibu."
.
.
.
Setelah
hari itu semua terasa berbeda. Raut wajah tak suka yang dulu
tersamarkan kini menguak untuk terlontar ke arahnya. Bisik-bisik yang
semula selalu ia abaikan entah mengapa kini menimbulkan sebersit raut
penasaran untuknya.
Bukan. Bukan nada cacian yang terlontar ke
arahnya yang ia permasalahkan. Hanya saja kedua pendengaran Ren terasa
sensitif ketika sebuah nama familiar tak sengaja tercuri dengar olehnya.
Uchiha Sasuke. Ren tahu, nama itulah yang menjadi topik bisik-bisik rekan seangkatannya.
.
.
.
Petang
itu Ren berdiri di sana. Menyandar pada tembok kokoh Rumah Sakit tempat
ibunya berada. Menanti kemunculan sosok perempuan yang hampir 14 tahun
begitu akrab dengan kehidupannya. Namun, ketika petang semakin menggelap
sosok yang ia tunggu tak kunjuk menampakkan diri. Sekedar melepas rasa
kekhawatirannya ia menengok lorong dimana ibunya sering muncul dengan
senyum lebar setiap ia datang menjemput. Tak ada. Lorong itu terlihat
kosong dalam jangkauan pandangannya.
"Ibu..."
"Ren."
Tersentak kaget Ren menatap tak suka seseorang yang berani mengusiknya.
Alis hitamnya menyernyit mendapati Uzumaki Naruto tengah memamerkan
sebuah senyum kepadanya.
"Bisakah kita bicara sebentar, Ren," pinta untuknya.
Mengangguk sekilas ia menapaki langkah mengikuti Naruto.
.
.
"Ada apa, Sensei?" Akhirnya Ren ambil suara, pasalnya mantan gurunya tersebut tak kunjung mengucapkan kalimatnya.
Tersenyum
lagi Naruto menangkup pundak remaja tanggung tersebut, "Malam ini.
Bisakah aku meminta bantuanmu untuk menyerahkan sebuah dokumen ke
Sunagakure?" Mendapati raut tak mengenakan yang ditampilkan lawan
bicaranya ia kembali bersua, "Sebenarnya aku ingin mengantarkan sendiri,
namun nenek Tsunade malah memintaku mencari pengganti karena suatu
urusan. Maukah kau membantuku, Ren?" Jemari Naruto menggenggam penuh
harapan jemari bocah di depannya, " Kumohon, hanya kau yang kupercaya,
Ren," pintanya memelas.
Dan sebuah anggukan lagi-lagi membuat senyum sang Uzumaki melebar.
.
.
.
.
Malam
itu dengan sebuah pesan singkat kepada sang ibu yang dititipkan kepada
Naruto, Ren pergi mengemban misinya. Sendiri, bayangan hitam tersebut
meloncati atap-atap rumah penduduk menjangkau gerbang Konoha. Perjalanan
Konoha-Suna akan memakan waktu tiga hari. Dan entah mengapa Ren ingin
segera menyelesaikan misi ini. Perasaannya terasa tidak mengenakan.
Mungkin karena ia pergi tanpa pamit dengan sang ibu, sangkalnya.
.
.
.
Hari
telah beranjak sore ketika Ren berhenti sejenak di perbatasan
Konoha-Suna. Membuka bungkusan makanan yang sudah ia siapkan, ia kembali
mengisi tenaganya yang tersortir karena paksaan perjalanan yang tak
kenal berhenti. Menyenderkan tubuh letihnya ia menatap hamparan pasir
yang sebentar lagi akan ia lalui. Mata hitam miliknya terpejam sejenak
karena semilir angin musim panas yang terasa segar menerpa tubuh
berpeluhnya. Rasanya nyaman.
Sreeg
Sreggg
Insting
waspada milik Ren langsung bangkit ketika suara langkah beberapa orang
ia rasakan keberadaannya. Mata hitamnya berubah merah. Sharingan
kebanggaan Uchiha yang mengalir pada darahnya ia tampakkan. Menelusup
dalam rimbunan semak mata awasnya meneliti gerak-gerik beberapa orang
yang ia yakini bandit daerah perbatasan.
"Kau tak tahu berita yang marak terdengar, Kidou?" Laki-laki berbadan tambun tersebut berkata antusias pada dua orang kawannya.
"Kalau bukan tentang uang aku tak peduli, Kuro," ungkap sesorang di antara dua bertubuh kurus tersebut.
Laki-laki
bertubuh tambun tersebut terkekeh pelan, "Tapi ini tentang orang dari
klan terakhir pemilik mata Sharingan hebat itu, Kidou," tandasnya lagi.
Mata
Sharingan milik Haruno Ren menegang ketika kemampuan mata miliknya
menjadi topik yang tengah diperbincangkan para bandit tersebut.
"Maksudmu Uchiha Sasuke yang kemungkinan akan dijatuhi hukuman mati oleh Kono..."
Belum
sempat kalimat tersebut selesai terucap gumpulan asap tersebut muncul,
hingga akhirnya menghilang tersapu angin menghilangkan sosok pemuda
tanggung bermarga Haruno tersebut.
.
.
.
"Sial.
Jadi mereka mengusirku sementara karena ini," geram Ren. Dipacunya
langkah itu menembus gelapnya hutan yang telah ia terjang.
.
.
.
.
Uchiha
Sasuke. Lelaki yang eksis karena penghianatannya kepada Konoha dengan
mengikuti Orochimaru dan bergabung dengan Akatsuki tersebut mendekam
dalam selnya yang pengap dan gelap. Terpejam dalam tidurnya ia merasakan
sebuah cakra familiar yang berlari ke tempatnya sekarang. Merasa tak
ada gunanya, ia tak mau ambil pusing. Menyamankan posisi tidurnya, ia
kembali menaungi kenangan indah di masa lalunya.
Haruno Sakura.
Meskipun hampir 10 tahun tak bertemu, perempuan yang dulu begitu
istimewa di hatinya tersebut tak banyak berubah. Di usia mereka yang
lebih dari seperempat abad, perempuan Haruno tersebut masih saja
mengusik hatinya yang berusaha ia tutup rapat-rapat. Baginya kenangan
tersebut semakin ia ingat akan menjadi cambuk untuknya.
Cleekk
Sasuke
tak ambil pusing ketika pintu sel tempatnya berada terbuka. Yang ia
tahu hukumannya akan terlaksana besok. Mati. Sasuke muak dengan tindakan
terakhirnya menyangkut desa ini. Seberapa usahanya untuk membantu
Konoha di waktu perang, seperti tak ada gunanya. Di mata mereka
kejahatannyalah yang harus segera diadili. Memusnahkannya. Kalau ia
ingat pertemuang siang tadi, ia terasa semakin muak.
"Uchiha Sasuke."
Panggilan
tersebut mengalun mengganggu pendengarannya. Ia bergeming dalam posisi
tidurnya, enggan mengindahkan sosok lain dalam sel pengap tersebut.
"Kita harus cepat keluar dari desa ini, Uchiha Sasuke," ucap orang tersebut.
Uchiha
Sasuke tertawa getir mendengarnya. Beranjak bangun ia memamerkan
Sharingan yang melagenda tersebut. Mangekyou Sharingan. Untuk sesaat
pemuda di depannya terkejut dalam diamnya.
"Ayah..."
.
.
.
Tepat
pukul setengah empat pagi cakra yang begitu ia kenali samar terasa
olehnya. Ia bangun dari tidurnya yang tak pernah merasa nyaman.
Menghapus jejak air mata yang tak pernah mengering di sudut matanya ia
melangkah keluar kamar. Sekedar untuk memastikan kalau cakra yang samar
tersebut berasal dari putranya. Ren.
.
.
Duduk diam di
meja makan ketika ia dapati keberadaan putranya. Ragu ia mendekat ke
arah Ren. Sakura merasakan cakra milik putranya yang selalu tenang
tersebut terasa menahan suatu amarah. Air mata tersebut lagi-lagi tak
mampu ia bendung ketika mengetahui sebab karenanya. Ren telah tahu apa
yang telah terjadi.
"Ren..." Bibir pucat miliknya bergetar menahan isak tangis yang berusaha ia redam.
"Ibu...
Ibuu tahu ini akan sulit..." Sakura tak mampu meneruskan kalimatnya
ketika tiga tomoe milik putranya berputar cepat. Dalam sekejab
pandangannya mengabur, meskipun samar ia mendapati raut akan penyesalan
tercurah dari putranya.
"Maafkan anakmu ini yang begitu egois, Ibu."
Link Story:
Egois chapter 1