Rabu, 09 Oktober 2013

Satria Sayang Gue, Gue Sayang Satria (cerpen series 4)

Pagi itu aktivitas gue seperti biasa. Bangun tidur, mandi, sarapan, dan berangkat sekolah bareng kakak gue—Satria. Bahkan gue masih ingat ketika merengut karena nyokab kasih uang saku lebih banyak ke Satria daripada gue, dengan alasan Satria ada pelajaran tambahan. Gue ingat ketika bokab menengahi adegan bertengkar gue sama nyokab dengan nambahin uang saku gue sebelum berangkat ke sekolah bareng kakak gue. 

Gue ingat semua. Ingat ketika tubuh gue melayang, kemudian rasa sakit, dan setelah itu yang gue lihat Satria dengan wajah sedihnya meluk gue. Nyaman dan setelah itu gue nggak ingat apa-apa.

Rasanya gue tertidur nyaman dalam pelukan Satria.


Satria Sayang Gue, Gue Sayang Satria


Gue nggak tahu berapa jam gue tidur sampai-sampai mereka melototin gue. Gue ngga tahu harus masang ekspresi apa ketika nyokab gue mendadak meluk tubuh gue yang mendadak juga merasa sakit. Gue masang tampang bloon ketika Satria sama bokab gue masang wajah bangga ke arah gue. Heran tentu saja. Emangnya gue baru menang lomba apa sih sampai mereka begitu bangga sama gue.

“Syukurlah, kamu sadar juga, Elin.” Bokab gue ngelus-ngelus rambut gue. Gue pengen bangun dari tidur, tapi nggak bisa ketika merasakan sakit kepala sama tubuh gue. Gue kenapa???

.

.

Akhirnya gue tahu semua jawabannya ketika orang tua gue pulang ke rumah, dan Satria jadi sasaran pertanyaan gue ini kenapa. Gue, yang mendapati diri bangun di salah satu ranjang rumah sakit. Padahal gue yakin gue nggak kenapa-kenapa, karena sebelum gue tidur, Satria ada di samping gue sehingga entah kenapa gue nggak merasa takut.

“Gilaaaa.... gue hebat juga bisa tidur 3 hari berturut-turut,” seru gue sambil menyomot jeruk yang dikupasin Satria. Gue kelaparan dan ogah makan dari jatah rumah sakit. Gue pengen masakan nyokab, mangkanya orang tua gue belain ninggalin gue di rumah sakit bareng Satria.

Satria mendengus di samping gue tanpa ngalihin fokusnya ngupasin jeruk buat gue. “Lo buat gue takut setengah mati, bodoh.” Satria kembali angkat suara. Membuat gue nggak enak sendiri dengan keadaan ini.

Gue merasa bersalah meskipun enggan mengakui, apalagi melihat muka nggak enak Satria yan berusaha ia tutupi. Mungkin Satria merasa bersalah dengan kecelakaan yang menimpa kami. Dia selamat meskipun dengan luka yang lumayan sakit, dan gue yang hampir-hampir kehilangan nyawa yang secara nggak langsung karena Satria. Bukan karena Satria, tapi karena bus yang menerobos lampu merah sehingga membuat Satria membanting stir berusaha menyelamatkan kami. Gue sadar semua itu, mangkanya gue berusaha menampilkan muka ceria gue agar Satria nggak merasa bersalah lagi.

“Bokab marahin lo, Sat?” Gue kembali memecah keheningan yang membosankan ini. 

Sekelebat ingatan jaman kecil gue dimana bokab marahin Satria karena lebih milih main bola sama teman-temannya daripada nganterin gue pulang ke rumah. Alhasil, gue yang saat itu masih bocah nggak tahu jalan pulang, dan berakhir nyasar entah kemana. Gue juga ingat ketika gue menangis ketakutan, Satria datang cari gue, dia meluk gue erat sama seperti yang gue alami saat itu. Gue baru sadar Satria selalu ada buat gue. Entah jika nggak ada Satria gue gimana jadinya. 

Gue tahu, Satria sayang gue, gue juga sayang sama Satria.

“Enggak... bokap nggak marahin gue,” Satria nyuapin jeruk ke mulut gue, “tapi gue merasa bersalah karena buat lo jadi gini.”

Nah, kan... gue jadi merasa nggak enak gini.

“Ah, itu bukan salah lo kok, sopir busnya aja yang nggak tahu lalu lintas. Dan karena kecelakaan gue jadi bebas dari ujian remedial.” Gue nyengir lebar, “Sial deh, padahal nilai gue udah sama KBM tapi tetep aja gue disuruh remedial. Emang deh, Pak Rudi selalu bikin masalah sama gue,” cerocos gue.

Satria cuma bisa geleng-geleng lihat tingkah gue. Tapi gue seneng, dengan tingkah konyol gue, Satria nggak mengungkit rasa bersalahnya lagi. Tapi....

“Sat, jam tangan yang gue pake waktu itu mana?” tanya gue ingat jam yang baru gue beli dengan berbekal sisihan uang saku gue selama seminggu.

Satria natap gue lama. Mungkin berpikir jam tangan mana yang gue maksud.

“Itu, yang jam tangan putih seratus ribuan,” pancing gue.

“Oh yang itu...”

“Iye... mana?” Gue acungin tangan gue. Berharap cepet-cepet mendekap jam tangan yang lagi gue gandrungi itu.

“Gue buang ke tempat sampah. Hancur karena kecelakaan kemarin,” jawab Satria.

Gue shock.

Mewek.

Nangis.

Pengen nonjok Satria.

“Huweeee...... pokoknya harus diganti, nggak mau tahu harus diganti sama seperti ituuuuuu!!!!”

Gue teriak-teriak di depan muka Satria sampai-sampai orang luar nengok ke kamar inap gue. Tapi gue nggak peduli, pokoknya harus diganti. Gue nggak ikhlas jam tangan hasil kesabaran gue selama dua minggu hancur dalam sekali pakai. Satu minggu buat ngumpulin duitnya. Dan seminggu nunggu jam gue datang karena gue belinya di olshop.

Gueeeee nggaaaaaaak ikhlaaaaaaassssss..............

Gue ralat. Satria nggak sayang gue, dan gue nggak sayang sama Satria.


Senin, 26 Agustus 2013

Banjir TomatCeri 2011

Selamat siang sahabat blogger :)

Hari ini aku mau share link menuju komunitas fanfic yang didedikasikan untuk Banjir TomatCeri 2011 atau biasa disingkat BTC 2011.

Banjir TomatCeri?

Itu lho... Contest tahunan fans SasuSaku yang dilaksanakan tiap bulan Juli. Dari tanggal 1-31. Yang mana karya yang didediokasikan dipublish di situs Fanfiction.net dengan akun masing-masing.
Nah, ini dia komunitinya: SasuSaku Fanfiction BTC 2011

Cinta

Link story: CINTA
Disclaimer: Masashi Kishimoto


CINTA


Tangan itu terulur kembali. Menyerahkan beberapa lembar uang sebagi alat jual beli yang baru saja mereka lakukan.

Ia terus menatapnya. Entah kenapa ada sebersit perasaan ragu tentang dia. Dia begitu baik padanya, bahkan tak merasa keberatan ketika ia meminta untuk membayarkan makananya.

Namun kenyataannya sekarang ia bimbang. Apakah arti kedekatan mereka bagi pemuda itu?


Yamanaka Ino menatapnya penuh selidik, "Jadi kau dan Sasuke selama ini tak pacaran, Sakura?" Nada suara itu terlihat begitu heran.

Gadis identik warna merah muda itu mengangguk.

"Aku tak percaya semua ini. Kalian berdua selalu bersama-sama, menghabiskan akhir pekan bersama, bahkan Sasuke tak segan-segan membelikan apa yang kau minta." Yamanaka Ino menatap ke arahnya, "Atau jangan-jangan kau hanya memanfaatkannya, Saku?"

Gadis merah muda itu mendelik tak terima, "Aku tak seperti itu, Ino. Aku hanya... hanya..." Bahkan ia sendiri bingung dengan semua ini.


Uchiha Sasuke kini yang tengah bingung mendapati tindak tanduk gadis di depannya yang tengah berdiam diri. Bukan tipikal Haruno Sakura yang ia kenal.

"Hei." Ia menyentil kecil jidat gadis itu, namun hanya usapan kecil pada jidatnya sebagai tanggapan dari gadis itu sebelum kembali menikmati waktu diamnya.

Tak kehabisan akal, Sasuke merebut es krim yang mulai meleleh di tangan gadis itu, membuatnya berpaling ke arahnya dengan tatapan mendelik. Merebut kembali es krim miliknya.

Sasuke memposisikan duduknya. Menikmati sore yang sebentar lagi berkunjung.
 "Kau aneh hari ini, Sakura," katanya mengungkap apa yang sejak tadi dipikirkannya.

"Aa. Benarkah?" Gadis itu menatapnya innosen. Membuat pemuda di sampingnya menghembuskan napas pasrah.

"Hn."

Mereka diam kembali. Bahkan Sakura tak terlalu mengindahkan ketika kepala Sasuke bersandar pada pundaknya.

"Sasuke-kun?"

"Hn."

Sakura melirik sebentar kepala yang tengah bersandar di pundaknya, sebelum kembali menatap suasana di sekitar taman tempat mereka berada.

"Maaf ya, Sasuke-kun." Ia berucap sendu.

Pemuda Uchiha itu mengangkat kepalanya. Menyernyit heran akan sikap gadis di sampingnya.
"Mungkin karena sejak kecil kita selalu bersama, aku jadi tak merasa kalau selama ini ternyata aku seperti memanfaatkan, Sasuke-kun..."

"Apa maksumu, Sakura?" Nada suara pemuda itu sedikit meninggi. Seakan tak suka akan ucapan gadis merah muda itu.

Sakura tersenyum ke arahnya, "Maaf kalau selama ini aku memanfaatkan, Sasuke-kun." Sasuke diam, menanti gadis itu melanjutkan kalimatnya. "Memaksa untuk dibelikan ini itu oleh Sasuke-kun, meminta ditemenin padahal Sasuke-kun sedang sibuk. Padahal aku bukan apa-apa Sasuke-kun tapi aku begitu melunjak tanpa tahu malu." Kalimat itu berakhir dengan kepala merah muda itu menunduk seperti manahan tangis.

.

.

Ah, entah sadar atau tidak kini Sasuke juga tengah memikirkan hal itu. Kenapa ia begitu takluk dengan gadis Haruno itu. Bahkan dengan rela hati menguras isi kantongnya ketika gadis itu minta dibelikan sesuatu.
Meskipun ia tahu tindakannya bodoh, namun ia terasa terbayar ketika senyum itu merekah ke arahnya. Senyum itu seperti menghipnotisnya.

.

"Karena kau berkata seperti itu aku jadi kepikiran, bodoh." Tangan Sasuke terulur. Menarik kepala merah muda itu untuk bersandar ke tubuhnya.

"Maksud, Sasuke-kun?" Bola mata hijau itu mengerjab bingung.

"Kenapa aku bisa takluk oleh cewek manja sepertimu." Ia tersenyum tipis. Sangat tipis.

"..."

"Ternyata hanya satu kata sebagai alasannya, Sakura."

"..."

"Cinta. Mungkin karena aku mencintaimu sehingga mau saja kamu peralat."

Haruno Sakura cemberut. Mencubit tangan Sasuke yang tengah memeluknya.

"Hei, kau melukaiku, Sayang."

"Menyebalkan."


Tamat

Nyontek?

Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
Nyontek?


Haruno Sakura lagi-lagi mendelik pada sosok yang tengah berpaling ke arahnya. Bibirnya menggerucu berusaha menutupi dari jangkauan mata hitam yang tak henti-hentinya meliriknya. Sebisanya ia harus menjaga miliknya untuk masa depan cemerlang nantinya. Namun percuma saja, lihatlah pemuda Uchiha itu tak henti-henti menatapnya. Membutnya risih atas sikap pemuda itu.

Hei, tak bisakah pemuda itu tak bersikap memalukan seperti ini, gerutunya penuh kekesalan.


Ia tetap fokus dalam duduknya. Mengerjakan apa yang tengah menjadi kewajibannya tanpa peduli pemuda di depannya. Lagi-lagi ia berkesip mendapati lirikan tajam dari mata kelam menghanyutkan itu. Lengkap cibiran sebal ia lontarkan padanya. Sial. Pemuda Uchiha bernama Sasuke itu seakan tak mengindahkan reaksinya. Tetap menikmati sajian yang tertangkap pandangannya. Kembali mengalihkan pandangan ke depan sembari terkekeh atas kemenangannya.

Kembali lagi, kepala berambut raven itu tertoleh ke arahnya. Ia reflek memegang masa depannya. Berusaha menghindari dari sorotan bola mata itu.

"Hei, jangan mencontek punyaku, Sasuke." Akhirnya ia berujar keras. Menggenggam erat kertas ujian yang begitu menentukan masa depannya nanti.

Sasuke mencibir pelan, mengembalikan pandangannya ke depan sebelum dipergoki oleh penjaga ujian. Siap menekuni kembali kertas ujian.

"Pelit," ujarnya kemudian.

Link Story: Nyontek?

Egois (Epilog)

Disclaimer: Masashi Kishimoto.
.

Epilog
.

Rumah bercet coklat dengan daun cendela yang belum terpasang tersebut terlihat mencolok di pinggiran hutan yang penuh dengan pepohonan. Sekilas terlihat burung gereja dengan usil hinggap di kusen kayu cendela yang hanya tertutup secarik kain, bahkan dengan seenaknya menghadiahkan sebuah kotoran di kusen cendela dengan cat yang belum sepenuhnya mengering. Di luar sana matahari mengintip dari celah-celah dedaunan untuk memberitahu siapapun yang berada dalam rumah kayu tersebut untuk segera memulai harinya.

Di sudut belakang rumah, dua manusia tersebut terlihat memulai pagi dengan sebuah kekacauan kecil. Berhadapan dengan sebuah tungku dengan kayu bakar yang tak kunjung terbakar api. Malah nyaris api enggan membakar sang kayu. Mungkin terlalu lelah mendengar celoteh geram dari perempuan yang berusaha menciptakan dirinya dari dua buah batu dalam genggaman tangannya.

"Arrghh... Kenapa sulit sih!" Melemparkan kedua batu tersebut dari tangannya, lagi-lagi ungkapan frustasi tersebut terucap dari bibir Haruno Sakura, membuat sosok lain yang tengah memperhatikan segala polah tingkahnya terkekeh geli.

"Apaaa?" Merasa ditertawakan perempuan yang baru saja resmi menyandang marga Uchiha tersebut melotot geram pada sang suami. Tak mendapati respon yang berarti ia menatap Uchiha Sasuke yang tengah terduduk malas di sisinya. "Sasuke-kun, bisakah kau menciptakan api dari jurus katon-mu?" Mendapati ekspresi bingung Sasuke yang mirip putra mereka yang tengah tertidur pulas Sakura tersenyum ke arah suaminya, "Setidaknya cepat lakukan, Sasuke-kun," pintanya lagi.

Beranjak dari duduknya Sasuke menepuk debu yang menempel pada pakaiannya sebelum berbalik arah memasuki rumah.

"Malas. Lakukan sendiri," ujarnya seenaknya.

.
.

Uchiha Sakura melotot lagi, lengkap dengan raut kesal atas ucapan Sasuke.
"Sasuke-kun, menyebalkaaaannnn..." Reflek kayu bakar di depannya terlempar dengan indahnya dari tangan Sakura.

Dengan sigap Uchiha Sasuke menghindari lemparan sang istri. Tersenyum mengejek ketika berhasil menghindarinya.

"Sasuke-kuuuunnnn!"

.

.

"Aaaauuu..."

Suami istri tersebut reflek mengalihkan pandangannya mendengar lolongan kesakitan di sekitar mereka. Di sana putra mereka, Uchiha Ren tengah mengaduh kesakitan mendapatkan hantaman kayu bakar pada perutnya. Naas, di saat pandangannya mengabur karena kantuk.

"Huwaaa... Putrakuuu..." Seruan kekhawatiran Sakura tersebut membuat Sasuke mengorek telinganya terganggu.
.

.

.

Uchiha Ren menatap sebal kedua orang tuanya setelah kejadian kayu bakar menghantam perutnya. Rasa nyut-nyutan tersebut masih terasa hingga sekarang meskipun sang ibu sudah mengeluarkan cakra penyembuh tepat pada perutnya yang memerah. Tak pernah terbayangkan untuknya mendapatkan lemparan kayu bakar di mana matanya belum terbuka sepenuhnya dari sang ibu tersayang, apalagi banyak yang mengetahui seberapa hebatnya kekuatan tangan ibunya.

Lain dengan ibunya yang terus-terusan menyuarakan permintaan maafnya, ayahnya malah duduk bertopang dagu memperhatikan ia dan sang ibu yang sesekali mengomeli ayahnya yang tak berperasaan.
"Kalau, Sasuke-kun mau membantuku tadi akibatnya Ren-kun tak akan kesakitan seperti ini," kata ibunya entah untuk keberapa kali.

"Hn."

Bahkan Ren sudah bosan mendengar kata ambigu yang dikeluarkan ayahnya menanggapi celoteh sang ibu.

"Bla bla bla."

"Bla bla bla bla."

"Bla bla bla blaaa."

Ren mendesah pasrah tak mau mendengarkan ayah ibunya yang bertingkah kekanakan di pagi yang indah ini. Menarik kursi yang di dudukinya ia beranjak pergi.

"Tak bisakah Ayah membungkam Ibu yang tak berhenti mengoceh. Berisik," ungkap Ren pada akhirnya.

"Apaaa?" Sakura mengerjab tak percaya ucapan yang dilontarkan anaknya. Menoleh ia ke arah suaminya
yang menyambutnya dengan sebuah seringai yang begitu ia hapal. Merinding, cepat-cepat Sakura mengikuti jejak sang anak pergi.

"Haaahhh... Padahal semalam mereka terlihat romantis, dan sekarang terlihat menyebalkan. Hn," bisik Ren sembari mengulas senyum tipis. Menyingkapkan selimut untuk memulai tidurnya kembali.

Tamat

Link story: Egois (epilog)

Egois chapter 1

Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
.
Egois
.
.
Haruno Ren. Semua penghuni Konoha mengetahui silsilah siapa dia sebenarnya. Bocah laki-laki berparas tampan yang terasingkan karena darah yang mengalir dalam tubuhnya. Buih yang dulu diciptakan oleh sang ayah menuai hasil dalam kehidupnya. Dicerca dan dimaki karena cabang keturunannya. Dia Haruno, namun nama Uchiha masih begitu kental mengusik ingatan para penduduk desa Konoha. Pemuda klan terakhir Uchiha yang telah berkhianat. Meskipun nama Uchiha Sasuke tak lagi terdengar, namun ingatan setiap kejahatan yang ia tertorehkan masih begitu lekat dalam ingatan penduduk desa. Kesan pertama yang buruk tetap saja menimbulkan kenangan yang buruk, meskipun perang dunia ninja telah berakhir 10 tahun lalu. Bagi mereka andil Uchiha Sasuke dalam kemenangan perang tersebut tak akan mampu menghapus segala kenyataan negatif yang sudah tertoreh lekat dalam setiap ingatan mereka.
.
.
Celoteh tawa samar itu terdengar begitu mendominasi kedai ramen di desa Konoha. Siang yang terik terusik dengan suara keributan yang diciptakan sang pahlawan desa, Uzumaki Naruto. Bibir yang semula tertutup rapat tersebut kembali terbuka bersamaan dengan bibir mangkuk ramen kelimanya yang mampu ia tandaskan hari ini. Kuah ramen terakhir kembali mengaliri ruang dalam kerongkongannya. Sang Uzumaki berdecak puas sebelum pandangannya terarah kembali pada bocah laki-laki bekisar umur 14 tahun, mantan murid didiknya.
"Ramen memang selalu indah di musin panas hari ini," ungkapnya senang sambil mengusap peluh di dahinya. Terkekeh pelan Naruto menatap penuh minat anak laki-laki yang sebelumnya teracuhkan, "Kau beneran tak maun nambah, Ren," tanyanya kemudian mendapati hanya satu mangkuk yang dihabiskan mantan anak didiknya.
Menggeleng pelan ia melihat tingkah mantan gurunya itu, "Sensei, masih saja terlihat rakus." Ren menyernyit tak suka, "Pantas saja ibu tak mau menjadi istri, Sensei," ujarnya lagi.
Tertohok. Uzumaki Naruto menatap horor pemuda tanggung tersebut. Pasalnya ucapan Ren kembali mengusik ingatan Naruto pasca lamaran beberapa minggu lalu yang sukses membuatnya murung berhari-hari. Entah untuk keberapa kali kalimat bermakna penolakan dari bibir cinta pertamanya tersebut masih saja membuat hari-harinya mendung.
Terkekeh, berusaha mengobati kenyataan pahit yang terlontar dari pernyataan Ren, Uzumaki Naruto mengajak rambut raven pemuda tanggung tersebut. Meletakkan uang mie ramen yang telah mereka makan Naruto beranjak dari duduknya, membuat Ren mengikutinya.
"Kau tahu, Ren, ibumu memang keras kepala." Naruto tersenyum ke arahnya, "Berkali-kali aku mencoba merobohkan keyakinannya, tapi kekecewaan hasilnya. Ya, seharusnya aku sudah tahu akan berakhir bagaimana, namun tetap saja tak bisa melunturkan niat untuk mencobanya lagi dan lagi. Hehehehe..." cengirnya lagi.
Haruno Ren terdiam sejenak. Bocah laki-laki yang baru saja naik tingkat Jounin tersebut hanya mengendikkan bahu cuek pada akhirnya. Peraduan langkah keduanya pun tak mampu membendung kensunyian di antara mereka.
.
.
"Uzumaki-san." Langkah mereka berhenti bersamaan dengan ninja Anbu yang muncul di depan Naruto. Turut menyernyit penasaran Ren mendapati raut yang ditampilkan mantan gurunya tersebut setelah mendapatkan bisikan dari sang Anbu. Bahkan ketika sorot mata merendahkan bertumpuan dengan bola mata hitamnya ia hanya mampu bergeming ketika sang Anbu tersebut menghilang dari pandangannya.
"Ren, sepertinya aku harus segera pamit, dan selamat atas kenaikan pangkatmu menjadi Jounin," kata Naruto sebelum melocat pergi dari sisi Ren. Dan kembali lagi ia berteman sepi menyusuri jalan menuju rumahnya. Berharap senyuman dari sang ibu mampu membut harinya kembali indah.
.
.
"Aku pulang."
Pintu itu terbuka bersamaan dengan tubuhnya yang memasuki rumah kediamannya. Sepi ketika tak mendapati celoteh sang ibu menyambut kedatangannya pasca ujian Jounin beberapa jam yang lalu. Langkahnya yang terkesan tergesa-gesa tersebut mengusik kesunyian yang semula ia tangkap.
Ren tersenyum tipis mendapati meja makan yang tak lagi kosong. Timbul penyesalan menerima ajakan mantan gurunya untuk menemaninya makan siang di kedai ramen kalau tahu ibunya telah menyiapkan makanan kesukaannya di rumah. Pasti ibunya telah mendengar keberhasilannya dalam ujian terakhir menjadi Jounin. Mengambil duduk ia meletakkan tudung saji yang semula ia pegang. Menyamankan diri untuk menikmati sajian yang dibuatkan sang ibu.
"Enak," ungkapnya kemudian.
.
.
.
Dua insan yang terpisahkan oleh keadaan akhirnya berjumpa kembali. Saling meluapkan kerinduan barang sejenak dalam sebuah tatapan singkat kala bola mata beda warna tersebut bersinggungan. Beberapa detik sebelum salah satu mengalihkan pandangan cepat-cepat.
Ruangan tempat mereka berada terasa sunyi. Hanya tatapan mata nyalang yang terlontar dari beberapa penghuni di sana yang terarah pada laki-laki yang terduduk dalam kursi pengadilannya. Dialah Uchiha Sasuke. Sang Uchiha terakhir tersebut bukan kembali ke desanya dengan sukarela, namun kukuhan dari rantai penghisap cakra tersebut cukup menguatkan keadaannya.
Senju Tsunade tak tahu harus mengambil keputusan apa ketika kenyataan ia telah menangkap missing nin tersebut. Memijat pelipisnya kembali ketika bola mata madunya menangkap raut tak mengenakan yang tersurat dalam setiap mimik tetua desa. Bahkan di sampingnya Uzumaki Naruto dan Haruno Sakura tak mampu ambil suara ketika sebuah keputusan dengan paksa ia harus ambil.
Uchiha Sasuke. Lelaki itu dalam keadaan seperti apapun tak akan menghapuskan hukuman yang akan ia terima.
Mati atau mati.
Dua pilihan yang bermakna sama menghantui masa depan lelaki klan Uchiha tersebut.
.
.
.
Clek.
Haruno Ren terkesiap dalam lamunannya ketika suara decitan pintu tertangkap indra pendengarannya. Ia beranjak dari sofa yang ditempatinya, sekedar menyambut seseorang yang telah lama ia tunggu.
"Ibu dari mana?" Sebuah pertanyaan bermakna menuntut tersebut begitu saja lolos dari bibirnya.
Untuk kesekian kali Ren mendapati roman tak mengenakkan yang tercipta dari wajah ibunya sebelum tertoreh senyum penutup ke arahnya.
"Hokage-sama tadi menaggil Ibu." Haruno Sakura memeluk sejenak putranya yang semakin beranjak dewasa, "Dan selamat atas kelulusanmu menjadi Jounin, Ren, Ibu sangat bangga," tuturnya lagi.
Tersenyum tipis Ren memeluk Sakura, "Terima kasih, Ibu."
.
.
.
Setelah hari itu semua terasa berbeda. Raut wajah tak suka yang dulu tersamarkan kini menguak untuk terlontar ke arahnya. Bisik-bisik yang semula selalu ia abaikan entah mengapa kini menimbulkan sebersit raut penasaran untuknya.
Bukan. Bukan nada cacian yang terlontar ke arahnya yang ia permasalahkan. Hanya saja kedua pendengaran Ren terasa sensitif ketika sebuah nama familiar tak sengaja tercuri dengar olehnya.
Uchiha Sasuke. Ren tahu, nama itulah yang menjadi topik bisik-bisik rekan seangkatannya.
.
.
.
Petang itu Ren berdiri di sana. Menyandar pada tembok kokoh Rumah Sakit tempat ibunya berada. Menanti kemunculan sosok perempuan yang hampir 14 tahun begitu akrab dengan kehidupannya. Namun, ketika petang semakin menggelap sosok yang ia tunggu tak kunjuk menampakkan diri. Sekedar melepas rasa kekhawatirannya ia menengok lorong dimana ibunya sering muncul dengan senyum lebar setiap ia datang menjemput. Tak ada. Lorong itu terlihat kosong dalam jangkauan pandangannya.
"Ibu..."
"Ren." Tersentak kaget Ren menatap tak suka seseorang yang berani mengusiknya. Alis hitamnya menyernyit mendapati Uzumaki Naruto tengah memamerkan sebuah senyum kepadanya.
"Bisakah kita bicara sebentar, Ren," pinta untuknya.
Mengangguk sekilas ia menapaki langkah mengikuti Naruto.
.
.
"Ada apa, Sensei?" Akhirnya Ren ambil suara, pasalnya mantan gurunya tersebut tak kunjung mengucapkan kalimatnya.
Tersenyum lagi Naruto menangkup pundak remaja tanggung tersebut, "Malam ini. Bisakah aku meminta bantuanmu untuk menyerahkan sebuah dokumen ke Sunagakure?" Mendapati raut tak mengenakan yang ditampilkan lawan bicaranya ia kembali bersua, "Sebenarnya aku ingin mengantarkan sendiri, namun nenek Tsunade malah memintaku mencari pengganti karena suatu urusan. Maukah kau membantuku, Ren?" Jemari Naruto menggenggam penuh harapan jemari bocah di depannya, " Kumohon, hanya kau yang kupercaya, Ren," pintanya memelas.
Dan sebuah anggukan lagi-lagi membuat senyum sang Uzumaki melebar.
.
.
.
.
Malam itu dengan sebuah pesan singkat kepada sang ibu yang dititipkan kepada Naruto, Ren pergi mengemban misinya. Sendiri, bayangan hitam tersebut meloncati atap-atap rumah penduduk menjangkau gerbang Konoha. Perjalanan Konoha-Suna akan memakan waktu tiga hari. Dan entah mengapa Ren ingin segera menyelesaikan misi ini. Perasaannya terasa tidak mengenakan. Mungkin karena ia pergi tanpa pamit dengan sang ibu, sangkalnya.
.
.
.
Hari telah beranjak sore ketika Ren berhenti sejenak di perbatasan Konoha-Suna. Membuka bungkusan makanan yang sudah ia siapkan, ia kembali mengisi tenaganya yang tersortir karena paksaan perjalanan yang tak kenal berhenti. Menyenderkan tubuh letihnya ia menatap hamparan pasir yang sebentar lagi akan ia lalui. Mata hitam miliknya terpejam sejenak karena semilir angin musim panas yang terasa segar menerpa tubuh berpeluhnya. Rasanya nyaman.
Sreeg
Sreggg
Insting waspada milik Ren langsung bangkit ketika suara langkah beberapa orang ia rasakan keberadaannya. Mata hitamnya berubah merah. Sharingan kebanggaan Uchiha yang mengalir pada darahnya ia tampakkan. Menelusup dalam rimbunan semak mata awasnya meneliti gerak-gerik beberapa orang yang ia yakini bandit daerah perbatasan.
"Kau tak tahu berita yang marak terdengar, Kidou?" Laki-laki berbadan tambun tersebut berkata antusias pada dua orang kawannya.
"Kalau bukan tentang uang aku tak peduli, Kuro," ungkap sesorang di antara dua bertubuh kurus tersebut.
Laki-laki bertubuh tambun tersebut terkekeh pelan, "Tapi ini tentang orang dari klan terakhir pemilik mata Sharingan hebat itu, Kidou," tandasnya lagi.
Mata Sharingan milik Haruno Ren menegang ketika kemampuan mata miliknya menjadi topik yang tengah diperbincangkan para bandit tersebut.
"Maksudmu Uchiha Sasuke yang kemungkinan akan dijatuhi hukuman mati oleh Kono..."
Belum sempat kalimat tersebut selesai terucap gumpulan asap tersebut muncul, hingga akhirnya menghilang tersapu angin menghilangkan sosok pemuda tanggung bermarga Haruno tersebut.
.
.
.
"Sial. Jadi mereka mengusirku sementara karena ini," geram Ren. Dipacunya langkah itu menembus gelapnya hutan yang telah ia terjang.
.
.
.
.
Uchiha Sasuke. Lelaki yang eksis karena penghianatannya kepada Konoha dengan mengikuti Orochimaru dan bergabung dengan Akatsuki tersebut mendekam dalam selnya yang pengap dan gelap. Terpejam dalam tidurnya ia merasakan sebuah cakra familiar yang berlari ke tempatnya sekarang. Merasa tak ada gunanya, ia tak mau ambil pusing. Menyamankan posisi tidurnya, ia kembali menaungi kenangan indah di masa lalunya.
Haruno Sakura. Meskipun hampir 10 tahun tak bertemu, perempuan yang dulu begitu istimewa di hatinya tersebut tak banyak berubah. Di usia mereka yang lebih dari seperempat abad, perempuan Haruno tersebut masih saja mengusik hatinya yang berusaha ia tutup rapat-rapat. Baginya kenangan tersebut semakin ia ingat akan menjadi cambuk untuknya.
Cleekk
Sasuke tak ambil pusing ketika pintu sel tempatnya berada terbuka. Yang ia tahu hukumannya akan terlaksana besok. Mati. Sasuke muak dengan tindakan terakhirnya menyangkut desa ini. Seberapa usahanya untuk membantu Konoha di waktu perang, seperti tak ada gunanya. Di mata mereka kejahatannyalah yang harus segera diadili. Memusnahkannya. Kalau ia ingat pertemuang siang tadi, ia terasa semakin muak.
"Uchiha Sasuke."
Panggilan tersebut mengalun mengganggu pendengarannya. Ia bergeming dalam posisi tidurnya, enggan mengindahkan sosok lain dalam sel pengap tersebut.
"Kita harus cepat keluar dari desa ini, Uchiha Sasuke," ucap orang tersebut.
Uchiha Sasuke tertawa getir mendengarnya. Beranjak bangun ia memamerkan Sharingan yang melagenda tersebut. Mangekyou Sharingan. Untuk sesaat pemuda di depannya terkejut dalam diamnya.
"Ayah..."
.
.
.
Tepat pukul setengah empat pagi cakra yang begitu ia kenali samar terasa olehnya. Ia bangun dari tidurnya yang tak pernah merasa nyaman. Menghapus jejak air mata yang tak pernah mengering di sudut matanya ia melangkah keluar kamar. Sekedar untuk memastikan kalau cakra yang samar tersebut berasal dari putranya. Ren.
.
.
Duduk diam di meja makan ketika ia dapati keberadaan putranya. Ragu ia mendekat ke arah Ren. Sakura merasakan cakra milik putranya yang selalu tenang tersebut terasa menahan suatu amarah. Air mata tersebut lagi-lagi tak mampu ia bendung ketika mengetahui sebab karenanya. Ren telah tahu apa yang telah terjadi.
"Ren..." Bibir pucat miliknya bergetar menahan isak tangis yang berusaha ia redam.
"Ibu... Ibuu tahu ini akan sulit..." Sakura tak mampu meneruskan kalimatnya ketika tiga tomoe milik putranya berputar cepat. Dalam sekejab pandangannya mengabur, meskipun samar ia mendapati raut akan penyesalan tercurah dari putranya.
"Maafkan anakmu ini yang begitu egois, Ibu."

Link Story: Egois chapter 1

Uchiha Itachi

Ketika ia membuka kelopak matanya, tatapan bola mata hitam itulah yang pertama ia tatap. Kedua bola mata yang begitu ia rindukan hadir kembali dalam hidupnya. Namun sebuah kenyataan menghempaskan segala kebahagiannya ketika ia sadar mata itu milik sosok yang berbeda dari yang ia harapkan.
.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Fic ini bisa dianggap sequel dari fic 'Harapan?' dan 'Siapa Dia?'. Kalau ingin mengerti alur ceritanya lebih pasti bisa dibaca dulu fic itu, nggak dibaca juga nggak apa-apa kok asal bisa memahami isificnya. Hehe...


Uchiha Itachi

Pemuda berjubah awan merah itu masih tetap di sana. Di ujung dalam lubang goa dengan rintihan kayu bakar yang tengah dimakan api demi menghangatkan tubuhnya. Di luar sana hujan masih tak mau bermurah hati untuk tak membuatnya berlama-lama terjebak dalam kesunyian ini. Terlalu bosan, ia melangkah kakinya ke mulut goa untuk sekedar melihat seberapa deras hujan yang ingin menghalau langkahnya. Langit terlihat masih tertutup awan hitam. Hitam gelap. Tak sadarkah hal itu seperti hidupnya kini.

Ia—Uchiha Itachi. Siapa yang tak mengenal eksitensinya di Dunia Ninja. Sang jenius dari klan Uchiha yang terkenal kejam karena membunuh semua klan-nya, bahkan keluarganya sendiri, minus sang adik yang mereka ketahui selamat dalam kejadiaan naas itu.

Mereka semua tak tahu siapa sebenarnya ia. Di usia yang begitu muda sebuah beban berat dengan indahnya sudah ia emban, beban yang membuatnya gelap dan tak berpersaan seperti kata orang-orang yang tak mengenalnya. Namun, tahukah mereka kalau ia masih menyimpan sedikit hatinya untuk orang-orang yang begitu ia cinta. Hati yang berusaha ia kubur agar tak membuat semakin sesak setiap langkah yang telah ia ambil.

Kelopak mata itu terbuka kala uluran tangannya bertubrukan dengan tetes-tetes air hujan. Sepertinya hari ini hujan akan menemaninya kembali menoreh kisah sederhana di kehidupannya.


"Nggghhh..."

Kelopak mata yang semula terpejam erat akhirnya dengan perlahan terbuka. Dengan suara erangan rasa sakit tubuh yang semula tergeletak di sudut lain goa bergerak perlahan, berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan barunya.

"Aaarggg..."

Kembali suara kesunyian itu terpecah dengan nada menyakitkan yang terutarakan sosok ringkih yang berusaha menggapai kesadaranya kembali. Kedua telapak tangan yang sebelumnya menopang tubuhnya agar tak kembali terjerembab ke lantai dingin goa bergantian haluan untuk menekan rasa sakit yang tengah didera kepalanya. Sosok itu menyender lemah sembari berusaha mereflesikan tempat yang menjadi naungannya sekarang.

"Kau sudah sadar." Lontaran pernyataan itu mengalihkan segala tumpuan pandangan sosok lain di goa itu.
Cekungan mata yang berisi kornea hijau indah itu mengerjap seakan tak percaya kala tumpuan sorot matanya menangkap mata hitam yang entah kenapa begitu ia rindukan. Tubuh yang semulai terkulai lemah bersandarkan dinding goa itu akhirnya bergetar, hingga bibir pucat itu mengucap sebua nama yang sangat berarti bagi keduanya.

"Sasuke-kun..."


Haruno Sakura tak mampu perkata apa ketika segala diagnosa siapa pemilik mata hitam yang begitu ia kenali salah sasaran dari apa yang terucap dari bibirnya. Ia mendiamkan diri menikmati hawa dingin yang kembali menemani suhu tubuhnya. Ia ingat ketika tubuhnya terhempas ke dalam aliran sungai deras kala timnya yang tengah melakukan misi diserang sekawanan bandit, namun ia tak pernah mengira bahwa sosok pemuda di depannya inilah yang sudah bersedia untuk meluangkan waktu menolongnya.

"Terima kasih, Uchiha-san." Meski ragu akhirnya ia berucap juga. Tak terlalu mengindahkan debaran jantungan yang semakin menggila gelisah.

Hei, pantas Sakura gelisah ketika ia tahu segala rincian kejahatan yang sudah pemuda itu torehkan pada dunia ninja.

Ragu tak mendapati respon dari lawan bicaranya ia beranjak berdiri, berniat untuk mencari rekan setimnya yang pasti sangat khawatir dengan keadaannya sekarang. Kenyataannya kaki yang berusaha ia gerakan itu tak lagi nenampakkan langkahnya mendapati langit masih setia mengguyurkan air mata kesedihannya—begitulah menurutnya seperti yang tengah ia rasakan sekarang.

"Jangan memasakan diri, di luar hujan masih begitu deras." Nada datar itulah yang membuatnya kembali memasuki goa. Mendudukan tubuh dinginnya di depan kobaran api sebagai penghangat goa.

Entah sudah berapa lama mereka saling berdiam diri. Ia terasa enggan untuk buka suara memecah keheningan di antara mereka, begitu pula Itachi di mana ia yakin tak begitu peduli dengaan sebuah sapaan pemecah keheningan.

"Terima kasih telah menolongku..."

"Kau sudah mengatakannya tadi, Kunoichi."

Sakura tak berani melanjutkan kalimatnya kala sanggahan datar itu mengisi lanjutan suaranya.

"Aa."


Haruno Sakura mencuri pandang pada mata hitam sosok pemuda di sampingnya. Mata hitam yang membuatnya begitu menahan rindu yang tak tersampaikan. Kelam dan indah membaur dalam satu pandangan yang selalu membuatnya terlarut dalam emosi tertahannya.

Mereka mirip. Tentu saja Sakura sadar dengan tali persaudaraan yang mengikat kedua pemuda terakhir klan Uchiha. Tidak, bahkan Uchiha ketiga yang menjadi miliknya juga mewarisi mata kelam itu. Sebersit rasa rindu membuncah pada dirinya mengingat sosok Uchiha lain yang tengah menanti kepulangannya ke rumah.

"Ren." Ia bergumam lirih pada akhirnya, namun kenyataannya mampu mengalihkan perhatian pemuda di sampingnya.

Sakura gelagapan entah kenapa kala mata hitam itu terlalu intim menatapnya. Ia gugup karenanya. Memamerkan senyum tipis ia kembali berujar, "Nama putraku..." Tersenyum sumringah ia membalas pandangan dari pemuda Uchiha itu, "... maaf, entah kenapa mata hitammu begitu mirip dengan Ren, bahkan aku lupa kalau putraku juga mempunyai darah Uchiha," ungkapnya panjang lebar.

Uchiha Itachi menyipitkan matanya kala menangkap ucapan yang entah kenapa menyita perhatiannya.
"Uchiha?"

Haruno Sakura terkejut mendapati kata respon atas kalimat yang begitu saja terlontar dari bibirnya. Ia menunduk, berusaha menutupi roman bingungnya menyangkal perkataan Itachi. Menggerutu dalam hati ketika dengan mudahnya rahasia itu ia kuak sendiri pada pemuda di sampingnya.

Hujan di luar sana sudah tak terdengar deras, hanya gerimis kecil menemani gemerlap sebuah bintang kecil yang entah kenapa muncul di saat hujan mulai reda.

Beranjak bangun dari duduknya, Haruno Sakura membungkuk ke arah pemuda Uchiha itu, "Sekali lagi terima kasih sudah menolongku. Aku permisi," katanya cepat sebelum berlari menembus gerimis di luar sana.
Uchiha Itachi menatap bongkahan bara api di depannya. Memejamkan mata sejenak sebelum kembali memamerkan bola mata merah darahnya.

"Sasuke ya..."


Link story: Uchiha Itachi

Siapa Dia?

Link story: Siapa Dia?
 
Disclaimer: Masashi Kishimoto

Sequel dari fic 'Harapan?' versi saya. Sebelum membaca ini bisa terlebih dahulu baca fic 'Harapan?' meskipun kalau nggak baca juga pasti nyambung kok :D


Siapa Dia?

Mereka mendesaknya. Membuatnya untuk segera angkat bicara. Mengatakan siapa dia. Namun ia tak mau bicara, dan kenapa mereka terus menyiksanya dengan semua itu. Tahukah mereka bahwa ia masih dalam keadaan duka kehilangan dia.
 
"Siapa dia?" Lagi-lagi ia dituntut bicara. Kemarin orang tuanya, teman-temannya, dan sekarang sang Hokage ikut ambil bagian menuntutnya bicara.

Ia masih bungkam. Menatap tajam dua sosok manusia di depannya; sang Hokage dan Sensei-nya.

"Katakan siapa dia, Sakura?" Hatake Kakashi angkat bicara. Ia menghampirinya dengan wajah sedih.

Namun bocah perempuan 13 tahun itu bungkam. Masih senang mengantupkan dua bibirnya.
Sang Hokage menggeram kesal. Dengan kasar ia menegak sake di depannya, menyebabkan sebagian sake itu meluber melewati sudut bibirnya sebelum terhapus sembarang dengan lengan bajunya.

"Katakan sekarang atau kau akan menyesal selamanya, Haruno Sakura!" Hokage itu kini kehilangan kesabarannya. Menggebrak meja sebelum menuding sosok di samping Hatake Kakashi.

"Katakan siapa pemuda brengsek yang tengah menghamilimu, Sakura." Hokage itu berseru menatap tajam ke arahnya.

Ia mengelus perutnya yang masih rata sebelum menatap ke arah sang Hokage yang tengah dikuasai amarah. Bukan ia takut, hanya saja ia penasaran dengan sesuatu berwarna kuning yang terus bergerak di cendela belakang Hokage Konoha itu.

"Katakan siapa pemuda itu atau aku sendiri yang akan me-"

"Naruto..." Ia bergumam lirih namun tak ayal kedua orang itu mendengarkannya juga.

Hokage dan Kakashi membeku. Terlalu kaget dengan berita yang baru saja mereka dengar.
.

.

Dan Sakura...

Ia terus menyernyit berusaha mengenali apa yang tengah terlihat di cendela belakang sang Hokage. Sakura merasa itu Uzumaki Naruto. Terlihat dari rambut jabriknya yang jelas-jelas terlihat meskipun wajahnya terhalang tembok. Sedang apa bocah bodoh itu, pikirnya.

Haruno Sakura tak menyadari perubahan ekspresi yang ditampilkan oleh dua orang di hadapannya.

"UZUMAKI NARUTOOOOO..." Sang Hokage berseru lantang penuh amarah.

"Eh?"

Poor Sakura. Kamu tidak tahu satu kata yang keluar dari bibirmu telah menjadi kesalahpahaman besar.
.

.

Sasuke?

Rasanya jikalau bocah Uchiha itu tahu, pastinya ia ingin segera pulang ke Konoha untuk memanggang Naruto hidup-hidup karena mengaku sebagai ayah calon bayinya. Well, siapa sih yang mau merelakan anaknya diakui oleh bocah bodoh seperti Uzumaki Naruto. Tentu saja sebagai Uchiha ia tak rela dengan hal itu.

Harapan?

Link story: Harapan?

Mereka bilang...
Jangan memberikan mahkotamu kepada siapapun yang bukan suamimu
Karena berarti, saat itu kamu sudah siap disakiti

Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
Harapan?


Kamu menatapnya, sedangkan ia menatapmu juga. Tersenyum kamu padanya sembari menautkan jemarimu pada jemarinynya. Kamu merasa berdebar meskipun kalian pernah lebih dekat dari sekedar behadapan seperti ini. Namun, apapun yang kamu lakukan dengannya selalu membuatmu tidak berhenti tersenyum berhari-hari. Karena kamu tahu bahwa kamu sangat mencintai pemuda di depanmu ini lebih dari siapapun. Bahkan kamu beranggapan tidak akan pernah menyesal memberikan mahkotamu padanya, pada pemuda Uchiha yang sejak dulu menawan hatimu.

Kamu menariknya memasuki kamarmu kala malam itu. Menutup cendela yang menjadi tempatnya datang. Keremangan malam yang telah datang tidak membuatmu berniat menghidupkan lentera penerang dalam kamarmu. Kamu ingin tetap seperti ini, merasakan kebahagian kala ia mendekapmu lagi sepeti malam sebelumnya, sebelum kalian beranjak menaiki tempat tidurmu. Bergemul sebagai tanda kamu dan dia saling mencintai.

"Sasuke-kun..." Kamu membenamkan wajahmu pada dada bidangnya. Menahan kenikmatan untuk tak berseru lebih keras. Tentu saja kamu takut orang tuamu tahu apa yang telah dilakukan putri satu-satunya dengan membawa rekan satu timnya yang bergender laki-laki ke dalam kamarnya.

"Saku-ra..." Selalu tersenyum bahagia setiap gerakan yang ia ciptakan meskipun samar namamu terucap dari bibirnya yang tak mau lepas dari bibirmu. Kamu mendekapnya erat, menikmati gelombang ujung dari kegiatan kalian yang tengah mendatangimu hebat. Ia balas memelukmu juga, ketika kamu merasakan penuhnya tubuh bawahmu. Rasanya begitu hangat, sehangat tubuhnya yang erat memeluknya. Membawamu masuk ke dalam alam tidur yang ingin kamu raih.
.

.

.

Rasanya kosong ketika kamu bangun pagi itu. Tidak mendapati lagi alunan napas dari pangeran hatimu. Hanya hembusan angin pagi yang kamu rasakan kini. Seberkas perasaan kecewa tentu kamu rasakan, namun kamu segera menghilangkannya. Karena kamu tahu, kamu akan tetap berada di hati pemuda Uchiha itu.

.

Kalian bersikap biasa ketika berkumpul bersama tim 7 untuk mengikuti ujian Chuunin yang sebentar lagi dilaksanakan. Kamu tetap bersikap manis dan selalu ingin menarik perhatiannya, dan ia tetap tak menanggapi tingkah konyolmu padanya. Semua sama seperti dulu, tidak ada yang berbeda kecuali keadaan di mana kalian hanya berdua. Kamu tahu Sasuke tidak akan suka mengumbar-umbar hubungan kalian dan kamu juga belum siap mereka tahu apa saja yang telah kamu perbuat dengan salah satu dari rekan setimmu.

Biarlah semua sama seperti dulu. Yang penting kamu tahu perasaanmu tak lagi bertepuk sebelah tangan. Dan itu pasti sudah membuat beribu katak di perutmu bersenandung senang karenanya.
.

.

.

.

Kamu merasa ada yang berbeda dengannya. Bukan dengan kutukan yang ia dapat dari Orochimaru yang telah bersarang di tubuhnya. Namun kamu merasa mata itu berbeda, mata kelam yang selalu menampakkan kenyamanan itu semakin kelam kala kamu tatap.

Kamu bingung harus bagaimana ketika ia menarikmu ke sebuah gang sempit dalam perjalanan kalian pulang dari Ichiraku, menyudutkanmu ke tembok sebelum menghadiahkanmu sebuah ciuman yang entah kenapa terasa nenyesakkan untukmu. Lagi-lagi kamu menatapnya penuh khawatir, dan kamu tahu ia tidak akan suka kamu bersikap seperti itu. Ia ingin kamu tetap tersenyum untuknya, menyemangati kala ia terpuruk.

"Sasuke-kun..." Tidak tahu mengapa kamu ingin menelusuri wajahnya dengan jemarimu, merasakan betapa indahnya makhluk ciptaan Tuhan di depanmu ini.

Ia memejamkan mata ketika merasakan setiap sentuhanmu. Kedua tangannya pun semakin menarikmu mendekat ke arahnya.

"Kamu kenapa, Sasuke-kun?" Ia menatapmu kosong, "Apakah kutukan ini menyiksamu?" Sebelum jemarimu menyentuh tanda kutukan pada lehernya, tangan Sasuke telah lebih dulu menahan tanganmu. Menarikmu dalam pelukannya.

"Kumohon, Sakura, tetaplah mencintaiku apapun yang terjadi," bisiknya lirih.

Dan ingatanmu kembali pada kejadian di hutan Kematian, kala pemuda yang kamu cintai tidak mampu mengendalikan kesadarannya. Dan itu semua karena kutukan dalam tubuhnya.

Entak kenapa kamu terisak karenanya, memeluknya erat seakan takut kejadian itu kembali terjadi. Melihat ia kesakitan tanpa kamu bisa meredakan kesakitannya.

Ia mencium air matamu.

" Aku akan selalu mencintai Sasuke-kun apapun yang terjadi. Aku janji."

Lain dengan malam sebelumnya. Malam itu kamu habiskan memeluknya erat sembari menahan tangismu yang enggan berhenti, sebelum kalian pulang ke rumah masing-masing.

Namun kamu tidak sadar Sakura, malam itulah kamu akan kehilangan sosok yang kamu cintai.
.

.

.


Mereka bilang...
Jangan memberikan mahkotamu kepada siapapun yang bukan suamimu
Karena berarti, saat itu kamu sudah siap disakiti

Sekarang kamu tahu maksud ucapan ibumu dulu. Apakah kini kamu menyesal telah kehilangan milikmu, Sakura?

Pemuda yang sangat kamu cintai kini telah meninggalkanmu seorang diri. Kamu tidak tahu lagi di mana ia berada.

Ingatan tentang malam yang dulu selalu kamu lalui bersamanya, kini seakan menjadi cambuk yang siap untuk semakin membuatmu tersiksa.

Namun ucapan malam terakhir kalian bertemu seakan menjadi sugesti bahwa kamu harus tetap mencintainya. Menunggunya pulang kembali ke pelukanmu. Seperti janjimu dulu padanya, bahwa kamu tetap akan selalu mencintainya apapun terjadi.

.

Apakah sekarang semua asumsi yang sekuat tenaga kamu pertahankan tidak akan luluh ketika ia tanpa perasaan ingin menancapkan pedangnya padamu, ia berniat membunuhmu.

"Sasuke-kun..."

Kamu bimbang. Tahu bahwa Sasuke yang selalu kamu cintai telah berubah. Ia tidak akan lagi memelukmu, mencium bibirmu lama, maupun menenangkanmu kala kamu sedih.

Yang ada sekarang hanyalah Uchiha Sasuke yang penuh dengan dendam.

Uchiha Sasuke yang tidak akan segan untuk membunuhmu. Dan masihkah kau tetap mempertahankan janjimu padanya.

Namun kenyataannya, meskipun kamu berusaha melupakan segala tentang pemuda Uchiha itu. Rasa kerinduanmu padanya tidak bisa kamu elak lagi.

Dan kamu tidak akan menyesal menyerahkan milik berhargamu padanya. Semua harapan bahwa ia juga tidak mungkin melupakan kenangan kalian bersama dulu.

Mungkin nanti, rasa tanggung jawab kepadamu membuatnya berpikir untuk datang kembali kepadamu. Dan sebelum saat itu tiba, kamu akan menyimpan dalam-dalam hatimu untuknya kelak.

The end

Peri Hatiku

Disclaimer © Masashi Kishimoto


Peri Hatiku

Dia tetap di sana, memandang kilauan senja yang terlukis pada permukaan danau yang dangkal. Sorot matanya kosong tanpa tujuan, bahkan ketika terpaan angin yang membawa anak rambutnya terlihat menutupi pandangannya tak lagi diindahkannya. Wajahnya ayu dengan berbingkai mahkota sewarna bunga sakura. Kulit tubuhnya putih bersih mesti terlihat dari jauh, dia terlihat sempurna sebagai seorang wanita. Hanya satu yang membuat dia berbeda.

Sayap sewarna kapas bertengger indah pada kedua pundaknya.

Sayap yang membedakan dengan manusia pada umumnya.

Dan kau tetap terdiam di tempatmu berdiri. Memandang sosok peri cantik pujaanmu dari balik pohon oak di tepi danau yang lain. Tanpa berkedip kau memandangnya, meneliti setiap air muka yang nampak pada wajah ayunya.

Hanya satu warna yang tak pernah kau dapat dari setiap ekspresi yang dia tampilkan,

.

―senyuman yang begitu ingin kau lihat darinya.

.

.

Dua minggu kau menjadi seorang pengecut dengan tetap memandang diam-diam ke arahnya. Setiap sore menjelang senja dia muncul, dan menghilang bersamaan dengan kembalinya sang penerang alam ke dalam peraduan.

Sering pula kau meruntuki betapa pengecutnya dirimu―yang hanya mampu memandangi sosok jelitanya dari balik pohon―tanpa berani melangkah mendatangi sosoknya yang terlihat rapuh dalam cahayanya yang tak pernah redup. Dialah yang membuatmu terasa antusias menyambut datangnya esok. Berharap kau punya keberanian untuk menyapanya, menemani suasana sunyi yang tengah dia arungi.

Namun, kau tetap pengecut Uchiha Sasuke. Lebih pengecut dari yang selama ini kau sadari.


Gelisah kau bolak-balik menatap sosoknya dan matahari yang semakin memudar warnanya. Inilah yang kau takutkan selama ini, melihat dia menghilang dalam gelapnya malam dan kau menatap sendu tempat duduknya yang dia tinggalkan.

Dia masih di sana, dan kau kembali mengunci pandanganmu pada sosoknya.

Sepuluh.

Bibirmu bergerak, memulai kembali rutinitas menghitung mundur beberapa lama lagi kau bisa menatap peri hatimu hari ini.
.

Sembilan
.

Delapan
.

Tujuh
.

Enam
.

.Empat
.

Kau memejamkan matamu, seakan takut rasa kosong dalam hatimu kembali menggelayuti ketika sosoknya menghilang.
.

Tiga
.

Dua
.

Bersamaan angka terakhir terucap dari bibirmu kau membuka mata.
.

Satu

.

.

Kau hancur dalam diam, menatap sendu ke arah sosoknya yang masih tertangkap sorotan bola mata onyxmu.

Seharusnya kau senang dia masih di sana, tapi nyatanya rasa sakit dan kecewa itu melandamu ketika peri hatimu menerima uluran tangan pemuda lain sebelum sosoknya memudar hilang.
Inilah yang kau takutkan, bukan takut kau tak bisa memandangnya tapi takut seseorang telah memiliki hatinya.

"Sial," makimu dalam hati.


Hari menjelang senja ketika kau bergegas mengemasi perlengkapan ekstrakulikulermu. Menjejalkan kaos sepak bolamu asal tanpa henti mengerling gelisah jam dinding yang terus berdetik.

"Loh, Sasuke, kau sudah mau pulang?"

Seseorang mengalihkan perhatianmu, melirik sekilas sebelum melangkah keluar dari ruang olah raga.

"Aku pergi," pamitmu.
.

.

.

.

Bukan langkah biasa yang tercipta dari kedua kakimu, berlari dan berlari. Mencoba mengejar waktu yang tak mau berkompromi denganmu.

Kau berhenti, kedua tanganmu bertumpuan pada kedua lututmu. Napasmu berat dan tersenggal-senggal. Namun niatmu bertemu dengannya meruntuhkan segala letih yang tengah kau dera. Melangkah, berlari, dan berlari. Berharap matahari senja tak menghilang sebelum kau mengisi memorimu hari ini dengan wajah ayunya.

Hap.

Satu lombatan pagar setinggi pinggang sukses kau lewati, kini seperti seekor pemangsa kau mengendap-ngendap. Berusaha mencari sosoknya yang meremang diterpa sang senja.

Kau diam, tapi sorot matamu melirik ke semua tempat yang selalu jadi tujuannya. Kegelisahan kembali melandamu kala onyxmu tak mendapati seberkas cahaya putih yang kerap muncul dari tubuhnya ketika senja mulai menghilang.

Dia tak datang.


Seminggu ini harimu terasa hampa. Tak ada gejolak aneh dalam hatimu yang selalu kau rasa. Dia telah menghilang, dan kau merindukannya. Sangat.

Termenung, hanya itulah yanng bisa kau lakukan. Mengulas kembali setiap memori tentangnya yang tersimpan rapat dalam memori otakmu. Kau beranjak dengan malas ketika bel apartemenmu terdengar, menyingkap selimut tebal yang membunngkus tubuhmu. Menapaki kaki menghampiri pintu utama di apartemenmu. Dengan tak niat handel itu kau putar, membuka lebih lebar agar kau tahu siapa yang mengganggu hari-hari hampamu.

Kau diam. Menatap sosok yang begitu kau hafal. Tetap seperti seminggu yang lalu menggilang tanpa kabar, dan sekarang dia berdiri di depanmu. Senyum dengan air mata itu membaur jadi satu ketika peri hatimu menghambur dalam pelukanmu.

Dan kau tahu, kau pernah merasakan saat-saat seperti ini. Saat dimana ia berada dalam pelukanmu.
Semua itu terasa familiarkan, Sasuke.


Pernah dipublis di fanfiction.net dengan link: Peri Hatiku

Selasa, 21 Mei 2013

Couple? No! (cerpen series 3)


Couple? No!

Hari Senin. Entah kenapa gue selalu bermasalah sama satu hari di dalam seminggu yang sering gue jumpai. Cerita aslinya simple, tapi emang dasarnya gue aja yang bikin masalah. Terutama masalah sama ibu gue yang mendadak jadi sok ngatur. Sudah gue blok kata yang bikin gue mendadak terbang terus jatuh di selokan depan rumah gue. Ngenes. Dan semua itu ujung-ujungnya nggak ada yang mau ngalah demi gue. Eliana Hendrawan. Satu-satu cewek paling cute di keluarga Hendrawan terpaksa merelakan kewarasannya untuk ibunda tercinta. Memalukaaaaaan!

Cerita ini gue awali pada tanggal 20 Mei 2013 dimana tepat jatuh pada hari Senin. Hari Kebangkitan Nasional. Simbol kebangkitan bangsa Indonesia yang berbalik membuat gue terhempas kejurang kegalauan nggak berdasar. Asli ngeneeeessss.....

Pada hari itu gue sebagai anak SMA yang berbudi baik tentunya harus mematuhi segala peraturan dan perintah dari sekolah, termasuk memakai baju batik untuk memperingati hari Kebangkitan. Di sinilah awal ketidak selarasan pikiran gue dengan nyokab gue yang mendadak sok ngatur. Sarimbitan.

You know? Gue harus memakai baju batik yang sama dengan yang dipakai kakak gue Satria. Ini memalukan. Sangat memalukan. Gue ini mau sekolah bukan menghadiri acara keluarga. Serasa gue badut yang terdampar di tengah-tengah lautan manusia, yang siap menertawakan lo. Ini gila.

“Kenapa dari tadi diem?” Gue buang muka sehabis lihat Satria ngelirik tingkah polah gue di spion motor yang kita naiki. Seharusnya dia tahu kalau gue ini bete bake BGT.

“Bukannya cewek suka make baju couple, ya?” Lagi-lagi Satria ambil suara meskipun tahu gue cuekin. Nggak sampai hati mengingat adegan reka ulang dimana nyokab maksa gue make baju sama dengan Satria. Kata beliau sih lucu lihat anaknya pake baju sama, tapi bagi gue ini memalukan. Apalagi untuk sekolah. Kalau bokab gue nggak ngelirik tajam gue yang ngedumel terus-terusan, gue pasti nggak semudah itu takluk.

“Iya, kalau couple-an sama pacar, nah, ini sama lo beda,” kata gue sinis. Rasanya gue emang kejam pada saudara sendiri. Ya Tuhan maafkanlah hambamu yang kebanyakan hormon ini.
“Heiiii.....” Gue menjerit nggak terima ketika Satria mendadak berhenti. “Kalau

“Lampu merah,” kata Satria saat tahu gue pengen marah nggak terima. Jelas saja kalau kepala gue yang untungnya memakai helm berlebel SNI terantuk belakang kepalanya yang juga memakai helm. Berwarna sama juga. Putih. Ngeneeesss...... nyokab gue memang nggak ketulungan buat beliin barang yang sama. Katanya biar nggak rebutan. Padahal asli gue nggak pernah rebutan, yang ada Satria yang ngalah sama gue. Seperinya gue lagi-lagi merasa kejam.

Merasa nggak ada lagi yang gue masalahin, sebelum lampu merah berganti warna gue mundur ke belakang, merasa duduk gue semakin melorot ke Satria. Akhir-akhir ini entah kenapa gue merasa absurd sama kalimat Satria yang kemarin gue anggap cuma bahan bercandaan. Tapi berkat anime Shoujo yang sering gue tonton, gue merasa aneh, nggak nyaman. Seharusnya gue nggak mikir sejauh itu, tapi... banyak sesuatu-sesuatu yang ngeganjel di hati gue.

Dan satu lagi. Seharusnya tadi, gue berangkat sekolah bareng sohib gue si Huda, bukan Satria. Ketika lo baru nyadar saat lampu merah lo mendadak jadi bahan lihatan orang-orang yang berhenti. Bagaikan lo alien yang terdampar di dunia, yang tengah di pungut pangeran Tampan semacam Satria. Oh no, Elianaa bilang Satria tampan. Dunia sudah gila. Maksudnya dunia gue—Eliana Hendrawan memang gila. Nggak ada yang beres. Please, Tolongin gue!

Selasa, 14 Mei 2013

With My Friend





Lokasi: Pelang, Trenggalek, Jatim.
Status: Melancong :)